Labuhanbatu Utara|nusantara jaya news-Penerapan program restorative justice kembali menghadapi tantangan serius, kali ini bukan berasal dari masyarakat, melainkan dari salah satu Diduga anggota DPRD Labuhanbatu Utara dari Fraksi PKB yang seharusnya menjadi bagian dari solusi.
Rika yang merupakan salah satu aktivis perempuan di Labuhanbatu Raya cukup Prihatin pada kasus pidana Ringan berawal dari konflik sosial di masyarakat sehingga kehadiran pejabat publik sangat dibutuhkan sebagai penengah, mediator, dan fasilitator untuk menciptakan kesepakatan damai yang adil tanpa adanya pihak yang merasa ditekan.
Rika juga menambahkan Program yang mengedepankan penyelesaian konflik melalui dialog antara korban, pelaku, dan masyarakat ini awalnya dirancang untuk meredam ketegangan sosial dan mencegah eskalasi konflik. Namun, proses yang semestinya berjalan kondusif berubah menjadi keruh setelah anggota DPRD berinisial (IP) diduga menjadi provokator dan tidak menjunjung tinggi prinsip falsafah bangsa, khususnya sila keempat mengenai musyawarah mufakat demi keadilan substantif dan berkelanjutan.
Rika menyatakan bahwa pejabat publik seperti bupati, walikota, anggota DPRD, lurah, hingga tokoh masyarakat memiliki tanggung jawab memastikan pelayanan publik berjalan efektif, memperkuat fungsi fasilitasi, serta memberikan dukungan kelembagaan terhadap proses pemulihan konflik sosial.
Program restorative justice memiliki landasan hukum yang kuat, di antaranya Pasal 28 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 yang memperkuat mekanisme penghentian penuntutan demi pemulihan keadaan sosial.
Sayangnya, tindakan anggota DPRD tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut. Alih-alih meredam suasana, sejumlah tindakan dan ucapannya justru memperuncing perselisihan antar kelompok, perilaku demikian tidak hanya memperburuk hubungan sosial, tetapi juga mencederai kewajiban moral seorang legislator yang seharusnya menjaga stabilitas dan ketenteraman publik.
Merujuk Pada Undang-Undang, anggota DPR terikat oleh kode etik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 80 dan 81 menegaskan bahwa anggota DPR harus menjaga integritas, menghindari pernyataan yang dapat memicu konflik, dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi melalui mekanisme Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian dari alat kelengkapan dewan, hingga rekomendasi pemberhentian sebagai anggota DPR jika pelanggaran dianggap berat.
Rika mendorong agar tindakan provokatif anggota DPRD berinisial (IP) segera dilaporkan ke MKD sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Selain itu, mereka menegaskan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai pengusung juga harus melakukan evaluasi internal terhadap anggotanya tersebut agar kejadian serupa tidak terulang dan kredibilitas partai tetap terjaga.
Di tengah situasi yang memanas, mediator lokal tetap berupaya melanjutkan proses pemulihan dengan melibatkan tokoh masyarakat yang lebih netral. Harapannya, kerusakan sosial tidak semakin meluas dan program restorative justice dapat kembali berjalan sesuai tujuan utamanya, yaitu memulihkan hubungan dan menciptakan keseimbangan sosial.
Sampai saat ini berita du tayangan Diduga oknum anggota DPRD bungkam.(Rif)


****************************************












