Surabaya |Nusantara Jaya News – Bulan Suro merupakan momentum sakral bagi seluruh Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia.
Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) memandang 1 Suro bukan hanya sebagai hari besar bagi orang Jawa, tetapi juga sebagai refleksi kosmologi tentang asal-usul manusia (sangkan paran dumadi).Pada tahun 2024, peringatan 1 Suro dalam kalender Saka Jawa memasuki tahun 1958.
Bagi warga Sapta Darma, tahun ini ditandai dengan candrasengkala “Esthining Warah Wiwaraning Budi,” yang berarti bahwa menjalankan ajaran Ketuhanan dengan sungguh-sungguh bisa membawa manusia pada kesempurnaan budi pekerti luhur.
Momentum pergantian tahun Saka Jawa selalu dihayati sebagai bulan penyucian diri oleh Penghayat Kepercayaan.
Berbagai ritual dilakukan untuk membersihkan jiwa manusia agar selalu mengingat keberadaannya sebagai mahluk Tuhan dalam menjalankan darma suci dan menjaga keselarasan hidup dengan alam semesta (memayu hayuning bawana).
Seperti tradisi, setiap pergantian tahun Saka Jawa, warga Sapta Darma (Persada) Kota Surabaya menggelar serangkaian prosesi peringatan Suro, dimulai dengan Tirakatan dan Teteki selama tiga hari. Mereka melaksanakan sembah sujud kepada Tuhan YME di semua Sanggar Candi Busono untuk melakukan pembersihan diri dengan refleksi mendalam, mawas diri, memohon ampun atas segala kesalahan, serta permohonan ruwat negari dan doa keselamatan bagi segenap bangsa Indonesia.
Puncak perayaan Suro pada tahun 2024 dilaksanakan pada Sabtu, 3 Agustus 2024, dengan menggelar pertunjukan Wayang Kulit semalam suntuk di Gedung Budaya Cak Durasim Surabaya.
Pertunjukan ini mengambil lakon “Wahyu Kasampurnan” yang mengangkat semangat penyucian diri pada pergantian tahun ini.Acara tersebut dihadiri oleh lebih dari 700 penganut Penghayat Kepercayaan Sapta Darma Surabaya serta organisasi Penghayat Kepercayaan lainnya.
Selain itu, hadir pula Kepala Balai Pelestari Kebudayaan Wilayah XI Provinsi Jawa Timur, Bakesbangpol Jawa Timur, Walikota Surabaya, Perwakilan Konjen Amerika Serikat, dan tokoh lintas iman dari enam agama.
Kehadiran para tokoh lintas agama ini sebagai bagian dari doa bersama dalam puncak perayaan Suro, menunjukkan keragaman dan kekuatan dari berbagai unsur agama dan keyakinan yang saling menghormati.
“Hampir di setiap peringatan Suro, Sapta Darma menggelar pagelaran Wayang Kulit, karena selain sarat dengan nilai-nilai filsafat yang bermanfaat bagi kehidupan, juga sebagai pelestarian budaya bangsa,” jelas Dian Jennie Cahyawati, Ketua Panitia Peringatan Suro.
Ketua Persada Pusat, Naen Soeryono, menegaskan pentingnya melestarikan kebudayaan sebagai kekayaan bangsa.
“Kebudayaan telah terbukti mengharmonikan keragaman bangsa Indonesia. Karenanya, setiap individu warga negara memiliki kewajiban dan andil untuk menjaga warisan adiluhung tersebut,” tutup Naen Soeryono. (Red/Ros)