Surabaya |nusantara jaya news – Polemik mengenai status cagar budaya Taman Bungkul Surabaya terus bergulir. Setelah rapat dengar pendapat yang melibatkan Komisi D DPRD Kota Surabaya, Ketua Yayasan Oesman Bungkul, dan Juru Kunci Makam Mbah Bungkul, kini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Kota Surabaya melakukan inspeksi mendadak (sidak) di lokasi.
Dalam sidak tersebut, Disbudpar Surabaya menemukan fakta adanya pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di dalam kompleks makam, yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar terkait status tanah tersebut.
Ketua Yayasan Keluarga Oesman Bungkul, Iwan, yang juga cucu dari juru kunci makam Mbah Bungkul, menyatakan ketidaksetujuannya terkait pernyataan yang diajukan pihak Disbudpar.
“Saya ditemui Pak Wiji dari Disbudpar. Katanya, bangunan di dalam makam tidak bisa dibongkar karena ada pembayaran PBB. Lalu, saya dipaksa tanda tangan pernyataan, tetapi saya tidak mau,” tegas Iwan, Senin (17/12/2024).
Kritikan tajam datang dari Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Akmarawita Kadir, yang menekankan pentingnya mengembalikan fungsi dan bentuk asli Taman Bungkul sebagai cagar budaya.
“Intinya, kita ingin mengembalikan marwah Taman Bungkul sebagai cagar budaya. Permasalahan ini bukan soal perebutan ahli waris, melainkan pengembalian fungsi dan bentuk cagar budaya yang sudah berubah,” jelas Akmarawita dalam rapat dengar pendapat pada Agustus 2024.
Senada dengan itu, Sekretaris Komisi D DPRD Kota Surabaya, Arjuna Rizky Dwi Krisnayana, mengkritik kinerja dinas terkait yang dinilai kurang maksimal dalam merawat dan mengelola Taman Bungkul.
“Taman Bungkul dulu sempat diakui dunia dan menjadi ikon Kota Surabaya. Namun kini, kondisinya memprihatinkan dan tradisi seperti haul pun dihilangkan. Bahkan, ahli waris tidak pernah dilibatkan dalam koordinasi,” ujar Arjuna Rizky.
Temuan adanya pembayaran PBB di area cagar budaya menimbulkan pertanyaan besar terkait status kepemilikan tanah. Berdasarkan aturan, wajib pajak bukan pemilik bisa ditunjuk melalui keputusan Ditjen Pajak, tetapi hak penggunaan tanah ini tidak memiliki status hukum yang kuat dan dapat berakhir sewaktu-waktu.
“Dari mana bisa muncul surat PBB untuk bangunan yang berstatus cagar budaya seperti Makam Mbah Bungkul? Ini yang perlu kita telusuri lebih dalam,” pungkas Iwan.
Polemik ini diharapkan segera menemukan solusi. DPRD Surabaya dan pihak yayasan menyerukan pengembalian fungsi asli Taman Bungkul sebagai cagar budaya serta peningkatan pengelolaan oleh dinas terkait demi menjaga ikon bersejarah Kota Surabaya. (Red)


****************************************












