Lampung |Nusantara Jaya News – Lampung bersiap menyambut dunia dalam perayaan budaya yang membumi dan membebaskan .Di tengah bayang-bayang modernisasi dan derasnya arus globalisasi, seni dan tradisi sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tertinggal di belakang.
Namun di Lampung, narasi itu sedang diubah.
Pada tanggal 20 dan 21 Juni 2025, tanah yang dikenal sebagai gerbang Sumatra ini akan menjadi panggung utama sebuah peristiwa budaya berskala nasional: Pesenggiri Festival.
Digagas oleh Selphie Bong, desainer dan penggiat budaya yang telah malang-melintang di panggung internasional, festival ini bukan hanya perayaan—ia adalah ajakan untuk kembali ke akar.
“Pesenggiri bukan hanya tentang menampilkan budaya, tapi tentang menghidupinya. Kami ingin mengajak masyarakat—baik lokal maupun luar—untuk tidak hanya melihat, tapi mengalami, dan akhirnya terhubung dengan nilai-nilai yang membentuk siapa kita,” ujar Selphie.
Filosofi yang Menyatu dalam Denyut Acara
Nama Pesenggiri berasal dari falsafah adat Lampung, Pi’il Pesenggiri—sebuah sistem nilai yang mengajarkan kehormatan diri, keramahtamahan, semangat kebersamaan, dan keterbukaan sosial. Keempat prinsip utama tersebut: Juluk Adok, Nengah Nyappur, Nemui Nyimah, dan Sakai Sambayan, tidak hanya disebut-sebut dalam pidato, tetapi ditransformasikan menjadi pengalaman langsung dalam berbagai aktivitas festival.
Mulai dari pasar seni dan kuliner “Temu Rasa dan Rupa”, workshop seni, hingga pertunjukan musik dan tari kolaboratif, seluruh rangkaian acara dikurasi untuk menggambarkan filosofi tersebut secara hidup, kontekstual, dan kontemporer. Jasmine Okubo dan Ritus Tubuh yang Menyatu dengan Tanah .
Salah satu highlight yang paling dinanti dari Pesenggiri Festival adalah pertunjukan tari kolaboratif yang digarap oleh Jasmine Okubo, koreografer dan co-founder Kitapoleng Bali.
Dalam proyek ini, Jasmine dan tim The Hurun turun tangan menggandeng penari-penari muda dari berbagai komunitas seni di Lampung untuk menciptakan karya lintas latar yang menyatukan tubuh-tubuh lokal dengan semangat kolektif.
“Gerak tubuh adalah arsip hidup. Ia menyimpan warisan, memelihara intuisi, dan membuka ruang dialog yang tidak bisa dicapai hanya dengan kata-kata,” ungkap Jasmine.
“Lewat karya ini, kami ingin tubuh-tubuh Lampung berbicara—dengan irama tanahnya sendiri, dengan denyut sejarahnya, dan dengan keberanian untuk terus menari meski zaman berubah.”
Pertunjukan ini bukan sekadar pertunjukan tari, tetapi sebuah upacara gerak yang menggabungkan elemen tradisi dan kontemporer, spiritualitas dan resistensi. Sebuah ajakan untuk menyimak tubuh sebagai saksi budaya, dan tarian sebagai bentuk komunikasi paling jujur antara manusia dan tanah yang mereka pijak.
Dari Panggung ke Layar: Visual yang Bernarasi
Keutuhan narasi festival dan scenography juga disusun secara visual oleh Dibal Ranuh, yang aktif sebagai penata artistik dan sutradara video festival. Dibal mengarahkan estetika keseluruhan pertunjukan acara, menciptakan semacam sinematik ritus yang tidak hanya untuk dinikmati secara langsung, tapi juga untuk ditonton dan direnungkan ulang.
“Kami ingin menghadirkan estetika yang otentik namun tetap relevan dengan audiens global. Lewat narasi visual dan pertunjukan yang menyentuh, kami berharap nilai-nilai lokal ini dapat melintasi batas geografis dan generasi,” ujar Dibal.
Tak sekadar tontonan, Pesenggiri juga membuka ruang interaksi dan pengembangan kapasitas lewat lokakarya dan diskusi tematik. Nama-nama besar seperti Helianti Hilman (Founder Javara) dan Dian Maya Puspitasari (Brand Consultant) akan hadir membagikan wawasan tentang keberlanjutan dan kewirausahaan berbasis budaya.
Sementara itu, kelas memasak akan diisi oleh chef lokal dan nasional, termasuk Chef Toni Azhari dari Lampung Marriott dan Devy Anastasia, finalis MasterChef Indonesia. Tak ketinggalan, sesi art talk akan menghadirkan sejarahwan budaya seperti Anshori Djausal bersama Dibal, membedah
bagaimana menciptakan karya seni yang bermakna lintas waktu.
Membangun Ekosistem, Bukan Sekadar Event
Salah satu kekuatan utama Pesenggiri Festival adalah pendekatannya yang holistik: tidak hanya sebagai acara budaya sesaat, tetapi sebagai ekosistem berkelanjutan. Selain menggandeng pelaku UMKM lokal, festival ini juga menghadirkan Green Marketplace dan Eco-Market, dengan produk-produk ramah lingkungan, makanan organik, dan suvenir hasil kerajinan tangan lokal.
“Kami ingin meninggalkan warisan, bukan hanya ingatan. Efek jangka panjang dari festival ini adalah membangun citra Lampung sebagai pusat kebudayaan dan pariwisata yang berakar dan berwawasan ke depan,” kata Selphie.
Lokasi Strategis, Akses Global
The Hurun, sebagai lokasi penyelenggaraan, dipilih bukan hanya karena keindahannya, tetapi juga aksesibilitasnya. Berlokasi tak jauh dari pusat kota Lampung, tempat ini mudah dijangkau dari Jakarta melalui jalur feri atau penerbangan singkat, menjadikannya titik temu yang ideal bagi audiens lokal, nasional, dan internasional.
Dengan pengunjung yang ditargetkan datang dari berbagai latar belakang—dari pelajar, keluarga, hingga kolektor seni dan investor—festival ini juga diproyeksikan mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif serta membuka peluang kolaborasi jangka panjang antar komunitas budaya.
Jika di ujung festival nanti langit Lampung dipenuhi dengan tawa, tarian, dan aroma rempah yang menguar dari dapur-dapur terbuka, maka bisa dipastikan: warisan itu bukan hanya dikenang—ia sedang hidup, menari, dan berbicara kepada dunia.(red)