Denpasar |Nusantara Jaya News – Anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999-2004, Jro Gde Sudibya, sekaligus Pengamat Ekonomi Pembangunan dan Kecenderungan Masa Depan merespons pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster terhadap terminal Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Liquefield Natural Gas (LNG) Serangan, Sidakarya, Mertasari dan Sanur (SEKARTANUR) aman dari sisi lingkungan dan bagian dari program Bali Mandiri Energi Bersih.
Pernyataan tersebut yang menyatakan proyek ini aman dari sisi keselamatan dan penyelamatan lingkungan, terlalu menganggap enteng (under estimate) persoalan.
“Diatas kertas, barang kali bisa begitu, tetapi pengerjaan proyek di lapangan punya risiko lapangan tinggi. Jika proyek gagal dalam penyelamatan lingkungan, biaya rehabilitasi lingkungan amat besar, bahkan nyaris lingkungan tidak bisa dipulihkan,” kata Ekonom Jro Gde Sudibya di Denpasar, Sabtu, 14 Juni 2025.
Karena risiko lingkungan ini, sudah semestinya Gubernur Koster mengambil inisiatif untuk melakukan uji publik terhadap proyek ini, tentang kelayakan lingkungan dihadapan para pakar lingkungan, teknologi yang relevan dan tokoh masyarakat yang merepresentasi kepentingan publik.
Tamsilnya, tidak membuat masyarakat Sanur, Sidakarya, Serangan dan Bali pada umumnya, “membeli kucing dalam karung”. Dalam kritik bernada satire: fenomena “musang berburu ayam”.
Upaya membangun narasi untuk meloloskan proyek FSRU LNG untuk membangun program Bali Mandiri Energi Bersih merupakan Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi kepemimpinan Gubernur Koster, dengan segera mempersiapkan Peta Jalan Bali Mandiri Energi Bersih.
Namun, perlu studi kelayakan awal-preleminary studi tentang sebut saja pilihan teknologi untuk menjawab tantangan Energi Bali Masa Depan, Pendanaan dan Skema Pengoperasian.
Hal tersebut dikarenakan proyek itu memerlukan pendanaan sangat besar dan APBD tidak akan sanggup mendanainya. Belajar dari pengalaman China dalam melakukan transformasi energi, pada masa pandemi, tahun 2021-2022, terjadi kekurangan pasokan listrik luar biasa dengan 80 kota industri mengalami giliran pemadaman berisiko kerugian yang amat besar.
Kembali melakukan impor batubara dalam jumlah besar sekitar 1,2 M ton tahun 2021-2022, padahal negara ini punya cadangan batubara terbesar dunia.
Program Bali Energi Bersih perlu perencanaan amat sangat matang, dengan kepakaran dan integritas keilmuan tinggi, untuk tidak terjebak kedalam situasi sebatas harapan, ilusi kosong (wisful thingking), yang kemudian sekadar jatuh menjadi jargon politik semata.
Sebelumnya, pemaparan pembangunan Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) Sidakarya oleh perwakilan PT Dewata Energi Bersih (DEB) dinilai sangat manis, tetapi realita membuat masyarakat Desa Serangan Denpasar sengsara.
Saking cinta pada tanah kelahirannya, masyarakat Desa Serangan Denpasar membuat tetap bertahan, meski beberapa kesepakatan (MOU) telah ditandatangani bersama, tetapi hanya segelintir yang terealisasikan.
Selain sudah dibatasi, kehidupan masyarakat Desa Serangan Denpasar juga sangat dipersempit, sehingga muncul rasa ketakutan dalam pikirannya.
Meski demikian, masyarakat Desa Serangan Denpasar tidak anti pembangunan atas keberadaan investor di Bali.
Demikian disampaikan Tokoh Masyarakat Desa Serangan, I Ketut Yasa, saat Gubernur Bali Wayan Koster menerima perwakilan masyarakat Desa Serangan, Desa Intaran dan Desa Sidakarya, saat pertemuan terbuka terkait rencana pembangunan Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) Sidakarya di Denpasar, Rabu, 4 Juni 2025.
“Kalau bisa terjadi sesuatu yang kena dampak paling pertama adalah kami di Serangan. Memang lokasi di Sidakarya kita akui Pak Gubernur Bali. Tetapi, di ruang laut tidak boleh menguasai, dengan peraturan bisa memanfaatkan, karena itu ada didalam wewidangan kami,” terangnya.
Disampaikan pula, bahwa pembangunan terminal Floating Storage Regasification Uni (FSRU) Liquefield Natural Gas (LNG) tidak dilihat sebagai keuntungan semata, tapi demi kepentingan jangka panjang.
“Ketakutan kami sebagai contoh dengan pendidikan yang terbatas dari kajian tahun 2022 dan para staf ahli dengan dasar pertimbangan Bendesa kami saat itu dengan implementasi Bapak memaparkan apa yang menjadi AMDAL, dulu kapal panjangnya 310 meter ada dari daratan sekitar 3.000 meter,” urainya.
Namun, seiring waktu mempersempit lahan menjadi 500 meter, sehingga hal tersebut menjadi bumerang bagi masyarakat akibat efek ketakutan atas kondisi alam semesta, yang dikhawatirkan akan terjadinya bencana alam.
“Dengan tidak mengurangi rasa hormat Pak Gubernur Bali, itu tidak mendukung program Pemerintah, contohnya Lapindo,” paparnya.
Untuk itu, diperlukan niat baik guna menata lingkungan. Namun, pihaknya menitip pesan kepada Gubernur Bali, Wayan Koster, bahwa keluarganya hampir 70 persen bermata pencaharian sebagai nelayan.
“Nelayan itu ada dua, yakni nelayan lepas jauh ke pantai, tapi satu sisi ada nelayan pesisir. Contohnya mencari udang dan kepiting. Mereka bisa keluar malam,” terangnya.
Berbeda dengan LPG disebut bakal ada kapal parkir di areal tersebut sesuai keberadaan peta, yang berdampak terhadap lingkungan.
“Satupun tidak ada yang memprovokasi kami, apalagi apa yang dikatakan pak Gubernur Bali tadi, kami jujur juga benci sebagai masyarakat Bali, tapi bagaimana lagi, kita kena dampaknya, nasi sudah menjadi bubur. Tak mengurangi rasa hormat dan bakti kepada Bendesa Intaran serta Bendesa Sidakarya diharapkan tetap bersaudara,” ungkapnya.
Meski demikian, sejumlah tokoh masyarakat Serangan dan Sidakarya mengungkapkan rasa kekhawatiran tentang keamanan, kerusakan ekosistem dan mata pencaharian nelayan.
“Darahnya Pak Gubernur Bali sama dengan darah saya seorang Bendesa Manik Mas, mohon maaf izin. Saya sampaikan ini dengan hati nurani, karena trauma sebagai masyarakat Serangan, dengan kejadian PT BTID Reklamasi tahun 1990. Manisnya saja diawal, tapi ujung-ujungnya pahit. Itu yang saya takutkan Pak Gubernur,” tambahnya.
Untuk itu, Ketut Yasa menitip diri kepada Gubernur Bali Wayan Koster, agar ada win-win solution dalam hal penanganan masalah tersebut terkait zona krodit.
Dipertimbangkan pula, bahwa jika mengambil Serangan dipersilakan untuk mengambil semua asetnya, apalagi dibutuhkan negara, tapi pihaknya memerlukan daerah tujuan untuk melakukan transmigrasi.
“Itu bukan saya anti pembangunan dan anti program pemerintah, tapi saya dukung 100 persen, tapi pikirkan kami sebagai masyarakat kecil, itu sebagai mata pencaharian kami yang ada di laut,” tegasnya.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster menerima perwakilan masyarakat Pulau Serangan, Desa Intaran dan Desa Sidakarya dalam pertemuan terbuka terkait rencana pembangunan terminal LNG di Pantai Sidakarya, Denpasar Selatan. Pertemuan berlangsung di Gedung Kerthasaba, Jayasabha, Denpasar pada Rabu, 4 Juni 2025 dan dihadiri oleh tokoh masyarakat, perangkat desa adat serta perwakilan PT Dewata Energi Bersih.
Pada kesempatan tersebut, Gubernur Koster menegaskan, bahwa pembangunan terminal LNG merupakan bagian dari program Bali Mandiri Energi Bersih yang bertujuan mewujudkan ketahanan energi daerah, mendukung pencapaian Net Zero Emission 2045, dan menjaga kualitas lingkungan serta citra pariwisata Bali.
“Bali adalah pulau kecil, destinasi wisata dunia, tidak boleh tergantung pada energi dari luar. Kita harus mandiri dengan energi bersih,” kata Gubernur Koster.
Saat ini, Bali masih sangat bergantung pada pasokan listrik dari Jawa Timur melalui kabel bawah laut yang rentan terganggu.
Gubernur Koster menyampaikan, bahwa kondisi darurat, seperti blackout 12 jam yang pernah terjadi tidak boleh terulang. Oleh karena itu, infrastruktur energi lokal berbasis gas alam cair atau LNG menjadi kebutuhan mendesak.
Sejumlah tokoh masyarakat Serangan dan Sidakarya menyampaikan kekhawatiran terkait keamanan, kerusakan ekosistem laut, dan mata pencaharian nelayan. Namun Gubernur merespons dengan penjelasan konkret demi Bali ajeg berkelanjutan.
Bahkan, Koster menyampaikan bahwa seluruh proses telah melalui kajian menyeluruh, termasuk oleh tim AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Beberapa hal penting yang dijelaskan, seperti jalur kapal sudah eksisting dan tidak melewati terumbu karang aktif, kapal pengangkut LNG hanya datang setiap 42 hari dan proses bongkar muat dilakukan dalam 24 jam, pipa gas dipasang di kedalaman 15 meter, dibawah akar mangrove, tanpa mengganggu ekosistem serta bahwa LNG berbeda dengan LPG, yakni tidak mudah meledak, jika bocor akan menguap di udara.
Kemudian, juga penggunaan teknologi pengerukan ramah lingkungan, seperti kapal hisap pasir dan kelambu lumpur, untuk mencegah kekeruhan.
“Saya tidak akan membiarkan pembangunan merugikan masyarakat atau represif. Semua proses harus jelas dan benar. Ini prinsip saya sebagai Gubernur untuk menjaga Gumi Bali,” paparnya.
Selain aspek teknis dan lingkungan, pembangunan terminal LNG di Sidakarya juga memberikan potensi manfaat ekonomi bagi desa-desa adat terdampak, termasuk peluang pendapatan dari penataan kawasan, pengelolaan dermaga wisata serta kerjasama dengan BUMDes dan BUMDA.
Terminal LNG ini juga akan terintegrasi dengan PLTG Pesanggaran dan pembangkit baru di perbatasan Denpasar-Gianyar, dengan total kapasitas 1.550 MW pada 2029, sejalan dengan pertumbuhan kebutuhan listrik Bali.
Gubernur Koster juga menegaskan, bahwa seluruh proses akan dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan Pemerintah akan memastikan semua kepentingan warga dilindungi serta lingkungan tetap lestari.
Mengenai Program Bali Mandiri Energi disebutkan program ini merupakan inisiatif Pemerintah Provinsi Bali untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah melalui sumber energi bersih berbasis gas alam atau sumber energi bersih lainnya
“Hal tersebut untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan solar serta mendukung transisi energi nasional menuju ekonomi hijau dan pariwisata berkelanjutan,” tutupnya. (Red) .