Medan |Nusantara Jaya News -Jondamay Sinurat (Kuasa Hukum Perkara 181/PUU-XXII/2024) : Pemerintah mengakui keberadaan Masyarakatnya dalam Kawasan Hutan, namun Pemerintah tidak mengakui Lahannya.
Judicial Review yang dilakukan oleh Sawit Wacth sudah pada tahap akhir persidangan. Sawit Wacth melalui kuasa hukumnya telah menyerahkan Kesimpulan kepada Mahkamah Konstitusi pada 24 Juni 2025 lalu sebagaimana yang telah terdaftar dalam Register Perkara Nomor : 181/PUU-XXII/2024.
Dalam rangka menunggu Putusan Mahkamah Konstitusi, Sawit Wacth menggelar Diskusi Online Tandan Sawit , denga Thema “Menanti Putusan Mahkamah Konstitusi : Kemana Arah Nasib Petani Sawit dalam Kawasan Hutan ditentukan”
Dalam kesempatan Diskusi kali ini dipandu oleh Moderator Annisa Erou. Pengantar diskusi dibuka dan dimulai oleh Koordinator Badan Pengurus Sawit Wacth Nurhanudin Achmad atau yang akrab dipanggil Bung Rambo. Pada kesempatannya Bung Rambo menyampaikan Pasal yang diuji pada permohonan 181 dimaksud adalah Pasal 12 Ayat (2) Huruf A, Pasal 17 Ayat (2) Huruf A, dan Pasal 110 B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan Sebagaimana Telah Diubah Dalam Paragraf 4 Pasal 37 Angka 20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sementara itu Jondamay Sinurat yang merupakan Kuasa Hukum dalam permohonan Uji Materiil ini menyampaikan pemaparannya bahwa Masyarakat Petani pekebun sawit cukup kompleks dalam menghadapi persoalan ini, Jondamay Sinurat menegaskan Kembali dalil-dalil Permohonannya, apabila Pasal yang diuji tetap diberlakukan maka akan merugikan hak konstitusional Masyarakat, petani, pekebun sawit yang telah lama mendiami lahannya sejak sebelum ditetapkan sebagai Kawasan hutan, dan bahkan sebelum Indonesia Merdeka.
“Lebih lanjut pemaparannya Jondamay Sinurat yang juga merupakan Sekretaris Eksekutif IHCS (Indonesian Human Right Committee For Social Justice) mengatakan Bagaimana mungkin Pemerintah mengakui Masyarakat yang tinggal dalam lahan Perkebunan Sawit tersebut, akan tetapi Pemerintah tidak mengakui Lahan yang dimiliki dan dikuasai Masyarakat tersebut. Seperti contoh adanya Fasilitas Pendidikan, Sekolah Dasar (SD), SMP, bahkan SMA, adanya juga pelayanan Kesehatan yaitu Puskesmas, adanya Rumah Ibadah Masjid dan Gereja, dan adanya Pemerintahan Desa, yang pasti ada Kantor Desa. Bahkan Pemilu dan Pilkada telah terlaksana beberapa kali”, pungkasnya.
Lebih lanjut hadir juga Grahat Nagara yang merupakan Akademisi, menyampaikan bagaimana kedudukan Pasal 12 A itu dan pasal 110 B UU P3H yang mempunyai potensi dan mudah digunakan untuk menjerat Masyarakat di sekitar hutan, banyak kasus lahan itu diambil alih oleh Satgas PKH. Ada 3 poin penting yang Grahat Nagara juga sampaikan yaitu : Pertama: Pengakuan terhadap tanah secara tradisional oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal setempat merupakan bagian proses politik menjadi Warga Negara Indonesia, Kedua: Kedudukan aturan-aturan pidana yang masih mengikuti logika hukum colonial sebenarnya berusaha dikoreksi meskipun masih terbatas. Ketiga: Penataan Kawasan Hutan hanya dapat menjadi cara untuk menuju pengakuan hak Masyarakat adat apabila memposisikan hak-hak mereka sebagai hak yang bersifat dekleratif.
Bahwa selanjutnya pemaparan dilanjutkan oleh Gunawan, akrab disapa dengan Mas Gunawan yang merupaka Penasehat Senior Indonesian Human Right Committee For Social Justice, menerangkan bagaimana Dinamika Proses Persidangan di Mahkamah Konstitusi. Pada kesempatannya Gunawan juga menyampaikan bahwa Pasal 12 A, 17 A dan 110 B UU P3H tersebut dikecualikan akan tetapi diberi persyaratan lagi. Lebih lanjut dijelaskan juga terkait Putusan MK 95/PUU-XXII/2014 yang pada intinya Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar dikecualikan dari pemberian sanksi.
Hadir juga dalam sesi Diskusi tersebut Parubahan Hasibuan yang merupakan Kepala Desa Ujung Gading Julu yang menjelaskan Bagaimana kondisi yang terjadi di Masyarakat di desa Ujung Gading Julu. Ahmad Zazali, merupakan Ketua Pusat Hukum & Resolusi Konflik (PURAKA) yang menjelaskan “Potret Terkini, Penertiban Sawit di Taman Nasional Tesso Nilo” dan Nora Hidayati (Perkumpulan HuMa) menjelaskan bagaimana Peran Masyarakat Adat dalam Penyelamatan Hutan Ditengah Tantangan Pengakuan dan Penertiban Kawasan Hutan.(Ihb)