SURABAYA |Nusantara Jaya News – Pengakuan Surabaya kembali beraksara Jawa tidak disangkal. Aksara tradisional ini secara fisik telah tersebar di penjuru kota. Aksara Jawa sebagai signage telah terpasang di seluruh kantor kelurahan, kecamatan, OPD, Balai Kota hingga Kantor DPRD Kota Surabaya.
Pengakuan itu datang dari beberapa pihak di luar Surabaya. Bahkan pengakuan itu juga datang dari internal kota.
Jika pemasangan bukan merupakan instruksi dari pihak pemerintah (Walikota Surabaya), maka akan mustahil signage aksara Jawa itu bisa bertengger di kantor kantor pemerintah kota Surabaya.
Sayang pemasangan itu bersifat sekedar menggugurkan kewajiban karena instruksional. Belum ada greget mandiri dalam memajukan Aksara sebagai bagian dari budaya lokal (kearifan lokal) Surabaya.
Secara faktual dan historis, aksara Jawa ini sudah ada sejak lama. Ada fakta fakta yang bisa diamati hingga sekarang. Misalnya inskripsi aksara Jawa di salah satu Gapura Ampel. Lalu ada pula prasasti Masjid Kemayoran serta batu / nisan bertulis aksara Jawa di komplek pemakaman bupati Surabaya Sentono Agung Botoputih, Pegirian. Belum lagi manuskrip yang menjelaskan tentang Surabaya.
Sayang, jumlah artefak itu terbatas dan bahkan tidak banyak orang mengetahui. Jangankan mengetahui artefaknya, mengenali aksaranya saja tidak. Aksara Jawa sudah menjadi asing dan langka.
Padahal Aksara Jawa adalah aksara asli Jawa, termasuk di Surabaya. Ada dua aksara tradisional di Surabaya. Yaitu aksara Jawa dan aksara Pegon.
Aksara Pegon masih digunakan di beberapa pondok pesantren. Tapi aksara Jawa tidak digunakan lagi.
Oleh karena itu, Aksara Jawa, yang secara umum disebut Aksara, diusulkan dalam Perda Inisiatif Pemajuan Kebudayaan Surabaya.
Aksara adalah Object, yang tidak sama dengan Bahasa, dimana Bahasa adalah salah satu dari 10 Object Pemajuan Kebudayaan (OPK). Aksara adalah sistem simbol visual, yang digunakan untuk merepresentasikan bahasa secara tertulis.
Sementara bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran, yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.
Bahkan dari hasil Kongres Bahasa Jawa VII di Surakarta 2023, Aksara dimasukkan dalam keputusan kongres sebagai tiga 3 unsur literasi: Bahasa, Sastra dan Aksara. Masing masing berbeda tapi saling berkaitan.
Sifat Keputusan Kongres
Keputusan kongres pada umumnya bersifat mengikat (obligatory) bagi para anggotanya dan memiliki kekuatan hukum tertentu, tergantung pada jenis kongres dan aturan yang berlaku.
Keputusan kongres, terutama yang dihasilkan melalui mekanisme pengambilan suara yang sah, biasanya mengikat semua anggota yang hadir atau yang diwakilinya.
Keputusan kongres juga bisa berupa rekomendasi yang ditujukan kepada pihak lain, seperti kepada pemerintah atau lembaga terkait, untuk melakukan tindakan tertentu (implementasi).
Surabaya adalah salah satu daerah, yang mewakili Provinsi Jawa Timur dalam Kongres Bahasa Jawa VII. Karenanya berangkat dari hasil keputusan kongress, Aksara diusulkan dalam Perda Inisiatif Dewan, yang diinisiasi oleh A. hermas Thony, Wakil Ketua DPRD periode 2019-1024, yang juga dikenal sebagai Penggerak Budaya Surabaya.
Selama ini diketahui bahwa Object Pemajuan Kebudayaan ada 10 butir. Aksara bukan salah satunya. Dengan pertimbangan di atas, maka Aksara dimasukkan dalam kategori Object Pemajuan Kebudayaan (OPK)
Asas Legalitas dan Perda Inisiatif
Dalam hukum, “apa yang tidak dilarang”, prinsipnya adalah diperbolehkan”. Artinya, jika suatu tindakan tidak diatur atau dilarang dalam undang-undang, maka tindakan tersebut dianggap diperbolehkan untuk dilakukan. Ini dikenal sebagai asas legalitas.
Asas legalitas dalam hukum pidana (yang diatur dalam KUHP) menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali jika perbuatan tersebut telah diatur dan diancam dengan pidana dalam undang-undang yang berlaku.
Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) inisiatif, yang berbasis kearifan lokal dan tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang masih dapat dibentuk, namun harus memperhatikan beberapa hal. Perda tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk undang-undang dan peraturan pemerintah.
Selain itu, Perda juga harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.
Aksara Daerah adalah bagian dari kearifan lokal dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan Pancasila. Aksara daerah adalah sistem penulisan tradisional, yang dimiliki oleh suatu suku bangsa atau masyarakat tertentu, dan keberadaannya diatur serta dilindungi oleh undang-undang. Apalagi Pancasila sebagai dasar negara juga menjunjung tinggi keberagaman budaya, termasuk bahasa dan aksara daerah.
Aksara Jawa, yang merupakan unsur literasi selain Bahasa dan Sastra Jawa, menjadi pengayaan literasi Jawa sebagaimana tertuang dalam keputusan hasil Kongress Bahasa Jawa VII di Surakarta pada 2023.
Dengan demikian Aksara, yang diusulkan dalam Perda Inisiatif Pemajuan Kebudayaan, adalah upaya perlindungan dan pelestarian di bawah peraturan yang tegas dan jelas sebagai wujud kepastian hukum.(nng).