banner 1000x130 **************************************** banner 1000x130
Berita  

Hati Hati Dengan Makna Budaya Dan Sejarah

banner 2500x130 banner 2500x130 banner 1000x130

SURABAYA |Nusantara Jaya News – Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada Minggu, 17 Agustus 2025 adalah peringatan yang sangat penting. Angka 80 adalah angka hoki yang ditandai dengan angka 8 dan 0.

Angka 8 dan 0 dianggap angka yang membawa keberuntungan dalam budaya tertentu, terutama dalam budaya Tionghoa, karena pelafalan dan bentuknya yang memiliki makna positif.

banner 300x250

Dalam bahasa Mandarin, angka 8 (八, bā) terdengar mirip dengan kata “发” (fā), yang berarti “makmur” atau “kaya”.

Bentuk angka 8, yang tidak terputus, melambangkan keberuntungan yang terus mengalir dan tidak berkesudahan.

Sementara itu, pelafalan angka 0 dalam bahasa Mandarin dilafalkan “ling” yang terdengar seperti “nol” dalam bahasa Indonesia. Namun, dalam konteks tertentu, angka ini bisa juga diasosiasikan dengan potensi dan awal yang baru.

Bentuk lingkaran angka 0 juga bisa melambangkan keutuhan dan kesempurnaan. Dalam beberapa budaya, angka 0 bisa menjadi simbol potensi, awal yang baru, atau siklus yang tak terbatas.

Surabaya dalam bahasa Mandarin disebut Sishui (empat air/sungai) dan budaya Tionghoa sendiri sudah ada lama di bumi Surabaya, yang memang berkalang air)sungai. Bahkan di era Majapahit, bangsa Tionghoa menjadi bagian dalam struktur kehidupan bermasyarakat dan dalam perdagangan.

Bangsa Tionghoa jauh lebih awal bertempat di Surabaya dari pada bangsa Eropa, Melayu dan Arab.

 

Bendera Terbalik?

Bendera “Putih Merah” di upacara HUT ke 80 Kemerdekaan Republik Indonesia di Pemkot Surabaya. Foto: ist

Ketika di hari spesial dalam peringatan HUT ke 80 Kemerdekaan Republik Indonesia, jutaan pasang mata tertuju pada pengibaran bendera merah putih sambil diiringi lagu kebangsaan dan di Surabaya terjadi insiden bendera. Bendera terbalik. Betapa kagetnya ketika di momen yang khidmat ini bendera yang akan dikibarkan terbentang terbalik.

Bagi mereka, yang bisa langsung melihat momen itu, langsung kaget sambil menggumam dalam hati, “lho !?”.

Atas kejadian itu, semua harus mawas diri dan intropeksi. Karena sekali salah, pastilah memalukan. Apalagi salah dalam mengambil kebijakan yang bersifat publik.

Ada dua keputusan besar terkait dengan publik yang dirasa salah selama ini. Yaitu dasar pertimbangan terkait dengan penentuan Hari Jadi Kota Surabaya.

 

Terkait Hari Jadi Kota Surabaya

Walikota Doel Arnowo tentang perubahan nama jalan dari yang berbau Belanda menjadi kearifan lokal. Foto: Nieuwe Courant

Berdasarkan sumber buku “Hari Jadi Kota Surabaya, 682 Tahun Sura ing Baya (1975),” disebutkan bahwa Kampung dan jalan Galuhan di kelurahan dan kecamatan Bubutan Surabaya dianggap sebagai toponimi Ujung Galuh dalam sejarah Surabaya. Itu berarti Galuhan dianggap berasal dari nama Ujung Galuh dari tahun 1293 M. Apalagi Galuhan tidak sekedar nama tapi lokasi, yang lokasi Kampung Galuhan dianggap Ujung Galuh.

Perubahan nama nama jalan di Surabaya pada 1950. Foto: Nieuwe Courant

Tidak benar. Jalan Galuhan dan Kampung Galuhan adalah nama baru, yang disematkan oleh walikota Surabaya Arnowo pada tahun 1950 (Nieuwe Courant, 1950). Perubahan nama itu untuk mengganti semua nama jalan yang berbau Belanda. Galuhan di era Belanda adalah Jan van der Heidenstraat. Nama ini kemudian diganti menjadi jalan Galuhan pada tahun 1950.

Peta tahun 1719 menunjukkan bahwa kali Jagir (kiri atas) bertanda silang pertanda belum ada. Foto: ist

Selain jalan Galuhan, masih ada lagi data sejarah. Yaitu kali Jagir yang pada 1293 M belum ada. Alur sungai dari Kali Surabaya berbelok ke Utara masuk sungai Kalimas dan berhilir di Teluk Lamong. Kali Jagir baru dibuat pada 1830-an. Jadi tahun 1293 kali Jagir belum ada. Tapi dalam sejarah Hari Jadi Kota Surabaya disebutkan bahwa pada 1293 tentara Tartar meninggalkan Jawa dari Kali Surabaya yang terus bergilir ke Timur (sungai Jagir).

Data sejarah yang digunakan oleh tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya kurang benar dan hasilnya adalah kita memperingati Hari Jadi Kota berdasarkan data sejarah yang tidak akurat.

 

Terkait Alun Alun Surabaya

Masjid kemayoran dan alun alun Surapringga. Foto: kitlv.nl

Itu kekurang-tepatan pertama. Ada kekurang tepatan kedua. Yaitu ketika membuat ruang publik di kawasan Balai Pemuda, Simpang, yang diberi nama “Alun Alun Surabaya”. Nama “Alun Alun Surabaya” di Kawasan Balai Pemuda Simpang ini mengaburkan dan menguburkan fakta historis Alun Alun Surabaya, yang sejatinya berada di Krembangan.

Generasi sekarang tentu akan terkecoh bila ditanya mana Alun Alun Surabaya. Mereka pasti menjawab di Simpang. Nama “Alun Alun Surabaya” baru ini sekaligus menghilangkan jejak sejarah Balai Pemuda.

Jangan sampai akan ada kekurang tepatan (kesalahan) ketiga atau kesekian kalinya karena mengabaikan data sejarah Surabaya. Apalagi kesalahan itu berdampak luas kepada publik. Publik menjadi disorientasi sejarah Surabaya.

 

Raperda Harus Tepat

Jika dikaitkan dengan penamaan Raperda yang mestinya Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya, yang ternyata diksi “Kejuangannya” ditanggalkan dan dianggap masuk dalam pengertian Kepahlawanan, ini juga menjadi disorientasi makna yang harus diteladani dari para pahlawan.

Sudah ada kekurang-tepatan pertama dan kedua, jangan sampai terjadi yang ketiga. (nng).

banner 1000x130
https://nusantarajayanews.id/wp-content/uploads/2025/05/IMG-20250528-WA0005-e1748427094351.jpg
banner 1000x130 banner 2500x130