Mojokerto |Nusantara Jaya News – Persoalan sengketa pembayaran tanah di Desa Sumber Girang, Kecamatan Puri, Mojokerto, semakin memanas. Sejumlah petani yang selama enam tahun terakhir menuntut penyelesaian sisa pembayaran tanahnya justru harus berurusan dengan pihak kepolisian setelah dilaporkan oleh perangkat desa yang mengaku sebagai panitia penjualan tanah.
Laporan tersebut diajukan oleh Samsul Arif, Kepala Dusun Sumberejo, ke Polsek Puri. Samsul merasa nama baiknya tercemar dan menilai para petani telah memasuki pekarangannya tanpa izin ketika mendatangi rumahnya pada 27 Juli 2025. Rumah tersebut diketahui berada satu lingkungan dengan Yayasan Baitul Rahmat.
Pada Rabu (20/8/2025) pukul 08.30 WIB, salah satu petani bernama Sardi (70) memenuhi panggilan penyidik Polsek Puri untuk memberikan keterangan terkait dugaan pelanggaran yang disangkakan kepadanya. Sardi yang juga dikenal sebagai Babinkamtibmas Desa Sumber Girang itu mengaku, kedatangannya bersama warga lain semata-mata untuk menanyakan sisa pembayaran tanah yang hingga kini belum kunjung dibayarkan.
“Kedatangan kami tidak ada maksud lain selain menanyakan sisa pembayaran tanah kami yang selama enam tahun ini belum diselesaikan,” ujar Sardi kepada awak media.
Putri Sardi, Rodyah, menuturkan bahwa panggilan terhadap ayahnya merupakan yang kedua. Sebelumnya, panggilan pertama pada Jumat (16/8/2025) pukul 10.00 WIB tidak dapat dipenuhi lantaran surat panggilan baru diterima sore harinya.
Setelah hampir dua jam menjalani pemeriksaan, giliran Seneri (65) yang diminta masuk ke ruang penyidik untuk memberikan klarifikasi serupa. Dengan wajah yang terlihat emosi, Seneri keluar dari ruang pemeriksaan sekitar pukul 11.20 WIB.
Menurut keterangan warga, saat mendatangi rumah Samsul Arif bersama puluhan petani lainnya, tidak terjadi aksi anarkis maupun perusakan. Hanya saja, Samsul Arif saat itu tidak berada di tempat. Mereka kemudian melanjutkan langkah ke rumah Soponyono, yang juga disebut sebagai ketua panitia penjualan tanah. Namun, Soponyono pun tidak ditemukan di kediamannya.
“Semua ini terjadi karena dua kali undangan klarifikasi dari Kepala Desa Siswahyudi tidak pernah dipenuhi oleh Samsul Arif maupun Soponyono. Warga sudah jengkel, akhirnya kami mendatangi rumah mereka,” terang salah satu petani.
Sementara itu, panggilan berikutnya dijadwalkan untuk Satupan dan Warti, warga Dusun Tempuran, pada Kamis (21/8/2025) pukul 09.00 WIB. Mereka dipanggil dengan sangkaan melanggar Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 167 ayat (1) KUHP tentang memasuki pekarangan tanpa izin.
Ketika awak media mencoba mengonfirmasi perkembangan kasus ini kepada penyidik Polsek Puri, termasuk Kanit Reskrim Ipda Joni Purnomo, S.Pd., yang saat itu berada di lokasi, pihak kepolisian enggan memberikan keterangan resmi.
Kasus ini menambah panjang daftar konflik agraria di Mojokerto, di mana petani kerap kali menjadi pihak yang dirugikan ketika hak-haknya tidak segera dituntaskan. (Red)