Probolinggo|Nusantara Jaya News – Desa Tamansari tengah, Probolinggo menjadi sorotan setelah kebijakan Kepala Desa (Kades) Soetaji menuai kontroversi. Sutaji dilaporkan mewajibkan pungutan sebesar Rp1.500.000 bagi setiap warga yang menyelenggarakan hajatan, baik pernikahan, khitanan, maupun acara besar lainnya. Kebijakan tersebut langsung memicu gelombang protes dari masyarakat yang menilai hal ini tidak adil, memberatkan, serta minim transparansi.
Dalam klarifikasinya, Kades Soetaji membantah bahwa pungutan itu bersifat membebani. Menurutnya, dana tersebut dialokasikan untuk mendukung kegiatan pembangunan desa. Namun, warga justru mempertanyakan kejelasan penggunaan dana serta menilai bahwa mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat menegaskan, kebijakan semacam ini seharusnya dibahas dalam forum resmi agar tidak menimbulkan kecurigaan dan kesalahpahaman.
Warga menyoroti bahwa pungutan ini terutama memberatkan keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Hajatan yang seharusnya menjadi momen bahagia justru dipandang sebagai beban tambahan karena harus mengeluarkan biaya di luar kemampuan. Kekhawatiran lain yang muncul adalah potensi terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat, karena tidak semua orang mampu memenuhi kebijakan tersebut.
Sebagian warga bahkan menuntut transparansi penuh mengenai ke mana dana pungutan itu disalurkan. Mereka meminta Kades Sutaji untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang dianggap sepihak ini. Jika aspirasi masyarakat tidak didengarkan, warga mengancam akan menggelar aksi protes terbuka dan mendesak pemerintah daerah turun tangan.
Kasus Desa Tamansari ini mengingatkan pada peristiwa serupa di Desa Jetak, Sragen, di mana warga yang mengadakan hajatan pernah menjadi korban boikot sosial akibat kebijakan kepala desa yang kontroversial. Peristiwa itu menjadi bukti bahwa keputusan seorang Kades tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga bisa mengganggu keharmonisan sosial.
Pungutan Rp1.500.000 per hajatan jelas menjadi kebijakan yang sarat polemik. Pemerintah daerah setempat didesak untuk turun tangan melakukan evaluasi sekaligus pengawasan ketat. Harapan besar tertuju kepada Kades Sutaji agar membuka ruang dialog dengan masyarakat, mendengarkan aspirasi warganya, dan memastikan kebijakan desa benar-benar berpihak pada kepentingan bersama, bukan sekadar kebijakan yang membebani rakyat. (Tim/red)