Denpasar |Nusantara Jaya News – Tak kurang 50 orang jurnalis (cetak, online, dan TV), mengikuti Pelatihan Peningkatan Kapasitas Jurnalis Peliputan Bencana Alam yang diinisiasi Jawa Pos TV Bali- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Quest Hotel San Denpasar, Sabtu (4/10).
Sekitar 6 jam, dipandu moderator Galuh Praba, mengikuti paparan para narasumber; mulai Kadis Lingkungan Hidup Provinsi Bali Made Rentin, Kadek Setiya Wati dari Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah III Denpasar, Putu Eka Tulistiawan (Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali), I Made Dwi Wiratmaja (Stasiun Klimatologi Bali), dan Ni Luh Desi Purnami (Stasiun Geofisika Denpasar).
Sebelum peserta ikuti materi, Direktur Jawa Pos TV Bali Ibnu Yunianto beberkan, tujuan pelatihan ini, guna mendorong Jurnalisme Solutif. Contohnya, ketika ada bencana (alam), jurnalis itu, tak hanya beberkan bencananya saja, tapi juga sajikan informasi yang penting bagi korban terdampak bencana. Sekaligus, bagi regulator atau masyarakat yang ingin memberi bantuan atau solusi atas bencana tersebut.
Rentin paparkan, seiring Peraturan Gubernur (Pergup) Bali 47/2019 soal Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber, idealnya masalah bisa tuntas di rumah tangga dan tingkat desa. Sehingga, seluruh sampah organik tidak ada keluar rumah. ’’Sebab, bisa diatasi dengan teba modern, lubang kedalaman 1,5 sampai 2 meter, khusus menampung sampah organik di halaman menjadi pupuk untuk menyuburkan,’’ paparnya.
Selain itu, Rentin paparkan, akan bangun krisis center sampah. Kadek Setiya Wati paparkan, paparkan, UU 31/2009 beberkan, tugas BMKG melakukan pemantauan untuk mendukung keselamatan jiwa dan raga. ’’Hal mendasar yang harus media paham istilah cuaca dan iklim. Jadi cuaca mengacu pada kondisi di sekitar kita sehari-hari yang lebih pesifik, kayak (seperti) cerah hujan dan lain-lain,’’ paparnya.
Sementara, iklim didefinisikan, rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang panjang. ’’Cuaca itu berubah, seperti perempuan, sesuai mood-nya. Kalau iklim, seperti lelaki. Pola stabil,’’ guraunya disambut tawa peserta dan hadirin.
Juga dicontohkan, cuaca ekstrem (cuek), dijelaskan sebagai fenomena alam. Di mana, terjadi kondisi tidak lazim. Sehingga, dapat menimbulkan ancaman.
Kemudian peserta diajak bedakan puting beliung dengan angin kencang. ’’Angin kencang sudah masuk cuaca ekstrem, 45 kilometer per jam. Kalau puting beliung itu, ada pusaran dari dasar awan cumulonimbus,’’ jelasnya.
Ditambahkan, terkait banjir bandang di Bali, pada Rabu lalu (10/9), disebut karena ada faktor gelombang atmosfer aktif. Yaitu, gelombang rosdi, disebabkan topografi atau pemanasan sinar matahari.
Sedang Putu Eka paparkan, tugasnya di Bandara Ngurah Rai, yakni dengan konsep observasi metereologi ideal di bandara. Ada alat sudah komplit di Bandara I Gusti Ngurah Rai. ’’Ada pengamatan darat dan lain-lain, termasuk alat mengetahui arah dan kecepatan angin,’’ urainya.
Sedangkan saat membuka pelatihan ini, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Kalaksa BPBD) Bali I Gede Agung Teja Bhusana Yadnya uraikan, terkait penyebab banjir bandang beberapa hari lalu di Bali, ditegaskan; tidak ada bencana penyebabnya tunggal. Sebab, berbagai ada berbagai faktor. Kuncinya, ada kerentanan bertemu ancaman.
’’Oleh karena itu, kerentanan bertemu ancaman hujan 150 mm per hari sudah ekstrem. Tapi, hari itu (Selasa, 9/9 dan Rabu, 10/9) 390 mm, dua kali ekstrem dan ancaman kedua gelombang pasang 2 meter lebih. Sehingga, aliran sungai ke laut terhambat gelombang pasang,’’ ujarnya mengenai salah satu penyebab banjir bandang tersebut.
Dwi Wiratmaja jelaskan pengenalan iklim di Bali. Diuraikan, total ada 118 titik pengamatan hujan di seluruh Bali. Ada yang mengirimkan data hujan tiap 10 hari, lantas kirimkan data sampai pelosok Nusa Penida, Klungkung. Juga terkait cuaca, iklim, curah hujan, sifat hujan, dasarian, el nino, dan la nina.
’’Normal hujan, nilai rata-rata hujan 30 tahun. Ada 20 zona musim di Bali, dari tahun 1991-2020,’’ bebernya.
Curah hujan January-Februari tinggi, dan naik lagi November- Desember. Artinya, fluktuatif, musim kemarau di pertengahan tahun, Juni sampai September. ’’Musim hujan Oktober- Desember sampai Februari. Jadi, pertengahan tahun musim kemarau,’’ jelasnya.
Desi Purnami uraikan gempa dan tsunami. ’’Gempa bumi tidak menunggu waktu, kalau sudah waktu, ya, maka akan terjadi,’’ ujarnya.
Diumpamakan, ketika kita memanaskan air, maka air berputar. Ini terjadi arus konveksi. Begitu juga dengan di atas inti bumi, ada mantel, sifatnya seperti kayak aspal. ’’Maka, ketika inti bumi panas, maka mantel akan panas dan kita berdiri di kerak bumi akan bergerak sekitar 7 milimeter per tahun. Tapi, gerak setipis itu bisa jadi gempa bumi dahsyat,’’ tegasnya.(rls)