Denpasar |Nusantara Jaya News — Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, I Gede Nandya Oktora, menyambut baik peresmian hilirisasi industri Petrokimia Nafta Crackers terbesar di Asean.
Pusat industri petrokimia PT. Lotte Chemical Indonesia yang berada di Cilegon, Banten ini baru saja diresmikan Presiden Prabowo Subianto dengan nilai investasi mencapai Rp 62 triliun.
Menurut Nandya, hilirisasi merupakan kebijakan penting untuk memberikan nilai tambah terhadap sumber daya alam Indonesia. Hilirisasi, menurut dia, penting untuk segera diimplementasikan.
“Kalau kita berbicara urgensi dari hilirisasi, tentu hilirisasi ini menjadi sesuatu yang urgent. Karena hilirisasi ini adalah untuk memberikan nilai tambah dari potensi-potensi yang kita miliki. Kita tidak hanya menjual produk-produk barang mentah, tapi juga memberikan nilai tambah menjadi produk jadi yang bisa digunakan,” ujar Nandya dalam diskusi publik di Casa Bunga Eatery, Renon, Denpasar, Kamis (6/11/2025).
Namun demikian, Nandya mengingatkan bahwa hilirisasi tidak boleh berhenti pada proyek besar semata. Ia mendorong agar regulasi dan teknisnya dipermudah agar arah kebijakan sesuai dengan roadmap ekonomi nasional.
“Secara prinsip, arah kebijakan ini sudah benar. Kita juga perlu memberikan apresiasi positif bahwa pemerintah sudah mulai melakukan implementasi hilirisasi, tidak hanya berhenti di wacana,” ujar Nandya.
Sementara itu, Founder BTI Energy dan Dosen Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) I G.N. Erlangga Bayu, menyebut masifnya hilirisasi yang masuk ke Indonesia juga perlu diiringi peningkatan SDM nasional. Sebab menurut dia, hilirisasi bisa optimal jika SDM memiliki kemampuan mumpuni agar Indonesia tidak hanya menjadi tempat eksploitasi sumber daya.
“Yang perlu didorong itu bukan menggali tambangnya lagi, tapi SDM-nya. Harusnya sejak perguruan tinggi dan SMK sudah disiapkan agar orang Indonesia mampu mengolah itu,” tegasnya.
Erlangga juga menilai investasi asing dalam hilirisasi perlu diimbangi dengan transfer knowledge (pengetahuan) yang nyata agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar dan lokasi pabrik semata. “Semua investor pasti bilang siap transfer teknologi. Tapi apakah itu berhasil membuat orang Indonesia bisa? Nah, itu yang harus dipastikan benar-benar berjalan,” ujarnya.
Dari sisi komunikasi publik, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis Universitas Dwijendra, Ni Made Adi Novayanti, menekankan pentingnya konsistensi pesan pemerintah dalam menjelaskan arah hilirisasi kepada masyarakat dan investor.
“Kalau kita lihat program-program hilirisasi yang dijalankan pemerintah, langkah ini sudah tepat. Tapi masyarakat juga harus ikut memantau dan melihat hasilnya. Gaya komunikasi yang dibangun oleh Presiden Prabowo terhadap investor dan pemimpin dunia itu sangat bagus. Banyak kerja sama yang sudah terjalin. Tinggal bagaimana menterinya mengeksekusi cepat di lapangan,” ujar perempuan yang akrab disapa Nova ini.
Hilirisasi Industri Petrokimia Nafta Crackers ini dibangun dengan nilai investasi yang besar, yakni 3,9 miliar USD atau setara Rp62 triliun. Pabrik ini membutuhkan bahan baku nafta dan LPG sekitar 3,2 juta ton per tahun yang kemudian akan menghasilkan sebanyak 15 produk petrokimia, antara lain Etilena dan Propilena. Sebanyak 70% produknya dipakai untuk keperluan yang begitu vital bagi bangsa, yakni mensubstitusi impor di dalam negeri dan sisanya 30% untuk ekspor.
Industri petrokimia sendiri adalah bentuk hilirisasi industri migas yang menghasilkan produk-produk bernilai tinggi dengan produk akhir seperti komponen kendaraan, peralatan medis pipa, kemasan plastik, peralatan isolasi listrik, dan berbagai bahan baku industri lainnya. Hilirisasi merupakan mantra baru bagi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Bahan baku diolah untuk menghasilkan nilai tambah yang akan mengerek penerimaan negara, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi.(red)


****************************************












