Oleh: Jesika Anastasya Sihotang
Di tengah perubahan dunia yang begitu cepat, banyak orang merasa tertinggal. Setiap hari muncul informasi, teknologi, dan tuntutan kemampuan baru. Sementara itu, di berbagai daerah, masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses pendidikan yang layak. Ada yang harus berhenti sekolah karena harus membantu keluarga. Ada yang tidak pernah merasakan kelas yang layak karena jaraknya terlalu jauh. Ada juga yang merasa dirinya “terlambat” untuk belajar karena sudah dewasa. Di balik semua itu, ada satu pertanyaan besar: apakah pendidikan hanya milik mereka yang masih kecil dan duduk di bangku sekolah?
Jelas Jawaban nya tidak, Karena Belajar adalah hak semua orang, di setiap usia, di setiap keadaan hidup.
Konsep belajar sepanjang hayat hadir sebagai solusi yang menjembatani kesenjangan pendidikan yang masih terus terjadi. Belajar sepanjang hayat berarti bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk terus belajar—meski usia tak lagi muda, meski dulu tidak sempat sekolah, atau meski hidup penuh keterbatasan. Belajar bukan hanya milik ruang kelas, tetapi milik jalanan, tempat kerja, lingkungan, komunitas, dan pengalaman seharihari.
Namun, sering kali orang-orang merasa bahwa belajar hanyalah “urusan sekolah”. Mereka tidak menyadari bahwa dunia terus berubah dan menuntut semua orang untuk beradaptasi. Ketika teknologi berkembang, pekerjaan berubah, dan informasi semakin mudah diakses, kemampuan manusia harus ikut berkembang agar tidak tertinggal. Di sinilah pentingnya belajar sepanjang hayat. Ia menjadi jembatan antara masyarakat yang tertinggal dan kesempatan untuk memperbaiki hidup.
Kita bisa melihat bahwa kesenjangan pendidikan tidak hanya terjadi antara kota dan desa, tetapi juga antar generasi. Anak-anak kini lebih cepat memahami teknologi dibandingkan orang tua mereka. Banyak pekerja dewasa kehilangan pekerjaan karena tidak memiliki keterampilan baru. Bahkan, lulusan sekolah sekalipun sering kali tidak siap menghadapi dunia kerja karena hal-hal yang dipelajari di sekolah berbeda dengan tuntutan lapangan. Semua ini menunjukkan bahwa belajar tidak boleh berhenti di sekolah. Belajar harus menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri.
Di tengah tantangan itu, kegiatan belajar masyarakat dan pendidikan nonformal menjadi ruang harapan baru. Banyak warga yang kembali berani belajar membaca, menulis, berhitung, bahkan mengikuti pelatihan keterampilan. Ada yang belajar menjahit, memasak, mengelola usaha kecil, hingga menggunakan teknologi sederhana. Meski tempat belajarnya tidak seperti sekolah formal, semangat para pesertanya sangat besar. Mereka datang bukan karena diwajibkan, tetapi karena memiliki keinginan kuat untuk mengubah hidup.
Dan justru di sinilah keindahannya belajar sepanjang hayat bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang keberanian.
Keberanian untuk mengakui bahwa kita masih perlu belajar. Keberanian untuk mulai kembali dari awal. Keberanian untuk melangkah meski terlambat.
Program belajar masyarakat memberi kesempatan bagi siapapun untuk memulai. Orang yang dulu tidak lulus sekolah bisa kembali belajar. Orang tua tunggal bisa belajar sambil tetap bekerja. Pekerja yang pendapatannya rendah bisa meningkatkan keterampilan. Bahkan para lansia pun masih bisa belajar hal-hal baru untuk menjaga kesehatan mental dan melatih ingatan mereka. Dengan belajar sepanjang hayat, pendidikan tidak lagi berhenti pada batas usia.
Untuk mengurangi kesenjangan pendidikan, kita tidak hanya membutuhkan gedung sekolah yang megah. Kita membutuhkan kesadaran bahwa belajar harus hadir di seluruh ruang kehidupan masyarakat. Pemerintah perlu memperkuat program-program belajar di luar sekolah. Masyarakat harus membuka ruang aman untuk belajar. Para pendidik harus lebih kreatif dalam membimbing warga. Dan orang tua harus menanamkan nilai bahwa belajar bukan hanya untuk masa kecil, tetapi untuk sepanjang hidup.
Budaya belajar sepanjang hayat juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kemampuan literasi masyarakat. Banyak orang dewasa yang masih memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini mempengaruhi kemampuan mereka dalam bekerja, mengurus administrasi, memahami informasi, bahkan mengakses layanan publik. Dengan belajar sepanjang hayat, mereka mendapatkan kesempatan memperbaiki kemampuan dasar dan menambah wawasan yang sebelumnya tidak pernah mereka miliki.
Selain itu, belajar sepanjang hayat juga membantu membangun karakter. Orang yang terbiasa belajar akan lebih terbuka, lebih bijaksana, dan lebih siap menghadapi perubahan. Mereka tidak mudah menyerah dan lebih percaya diri. Belajar mengajarkan kita bahwa setiap kegagalan adalah kesempatan untuk mencoba lagi. Dan setiap langkah kecil merupakan bagian dari kemajuan besar yang sedang kita bangun.
Jika semakin banyak masyarakat yang menerapkan pola pikir belajar sepanjang hayat, maka kesenjangan pendidikan akan semakin mengecil. Tidak akan ada lagi manusia yang merasa dirinya “tidak mampu” atau “tidak layak” belajar. Semua orang memiliki kesempatan untuk tumbuh. Semua orang memiliki kesempatan untuk berubah. Semua orang berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik.
Seperti yang saya baca dalam buku Pendidikan Multiliterasi karya Dr. Sudirman, S.E., M.Pd dan Mahfuzi Irwan, S.Pd., M.Pd, masyarakat masa kini harus mampu belajar dari berbagai sumber, bukan hanya dari buku atau sekolah. Buku tersebut menekankan bahwa literasi bukan lagi sekadar membaca dan menulis, tetapi kemampuan memahami informasi, teknologi, dan lingkungan sosial. Inilah yang membuat belajar sepanjang hayat menjadi sangat penting. Ketika kemampuan multiliterasi meningkat, masyarakat lebih siap menghadapi perubahan, mengambil keputusan, dan mengembangkan diri. Dengan demikian, penerapan belajar sepanjang hayat menjadi salah satu cara kuat untuk mengurangi kesenjangan pendidikan yang terjadi di masyarakat.
Penulis adalah mahasiswa Progam Studi Pendidikan Masyarakat Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan


****************************************












