Mojokerto |Nusantara Jaya News – Tradisi masyarakat Indonesia jika hajat atau keinginannya terkabul yakni dengan menggelar syukuran. Ada beberapa cara masyarakat Indonesia menggelar syukuran. Salah satunya yakni, mengundang teman dan tetangga untuk menikmati tumpeng secara bersama-sama.
Namun, kali ini sedikit berbeda maksud dengan apa yang disampaikan oleh seorang pria berinisial YU yang pernah menjabat sebagai ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa) di desa Purworejo, Kec. Pungging, Kab. Mojokerto dan kini dipercaya oleh Kepala Desa untuk mengelolah BUMDES.
Jika dalam acara syukuran sebuah tumpeng dianggap sebagai sarana bersyukur dengan cara berbagi, namun tumpeng yang dimaksud oleh YU diduga agak melenceng dan diduga mengarah kepada anggaran negara.
Dalam penyampainnya, YU mengibaratkan sebuah pembangunan yang biayanya menggunakan anggaran negara sebagai “tumpeng”. Dan apabila ada masyarakat ataupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mempertanyakan terkait pembangunan tersebut, akan dianggap sebagai “lalat”.
Tentunya apa yang dikatakan tokoh masyarakat tersebut sangatlah menyinggung perasaan, terutama masyarakat yang selama ini tahu kinerja dan proses pembangunan yang ada di desa tersebut.
Sebut saja X yang selama ini memantau program pembangunan desanya. Ia menduga dalam pelaksanaan pembangunan di desanya, banyak yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada.
Ketika dia berusaha mengkritisi jalannya pembangunan, malah seakan dianggap sebagai rintangan dan terkesan apa yang disampaikan dianggap angin lalu.
Apalagi, ketika dia sebagai masyarakat ingin mengetahui Rencana Anggaran Belanja (RAB) pembangunan, oleh pihak pengelola dan juga pemerintah di desanya enggan menunjukkan.
Dan kali ini, diduga kembali ditemukan kejanggalan – kejanggalan dalam proses pembangunan rabat beton yang dananya di dapat dari dana Bantuan Khusus (BK) yang diketaui sumber dana tersebut berasal dari APBD sebesar Rp. 392.000.000.
Dengan adanya informasi tersebut, pada tanggal 2 Desember 2025, awak media mendatangi lokasi pembangunan pelaksanaan proyek rabat beton yang ada di Dusun Mojodadi, Desa Purworejo, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto.
Benar saja, saat meninjau matrial yang digunakan untuk pengurukan dan pemadatan, yakni bukan sertu (pasir batu) seperti pada umumnya. Melainkan abu batu yang rijek.
Saat dikonfirmasi, mandor atau pengawas mengatakan bahwa alasan mengapa abu batu rijek yang digunakan, karena menyesuaikan pesanan dan lokasi yang digarapnya.
Dan yang lebih mengagetkan yaitu, sebagai Ketua TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) yaitu Kepala Dusun setempat yang berinisial NP. Tentunya hal ini bertentangan dengan peraturan yang ada.
Untuk mengetahui lebih lanjut terkait proses dan pelaksanaan rabat beton tersebut, pada hari Senin, tanggal 8 Desember 2025, awak media mendatangi Kantor Kepala Desa Purworejo guna konfirmasi. Namun, Kepala Desa tidak ada ditempat dan yang menemui awak media yakni Sekretaris Desa yang berinisial Y.
Menurut keterangan Sekretaris Desa Purworejo, tidak diberikannya RAB pembangunan dan penunjukan Kepala Dusun itu sudah sesuai dengan pergub dan perbub.
“Dimana, tidak semua orang berhak melihat dan memeriksa kegiatan desa. Apalagi, meminta RAB,” terang Y.
Dikutip dari google, dijelaskan bahwa, Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 51 ayat (1) huruf b UU Desa menyatakan bahwa perangkat desa dilarang merangkap jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Pengurus partai politik dan Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Dan ditentukan pula dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 (dan perubahannya, PP No. 47 Tahun 2015) tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 83 Tahun 2015 (dan perubahannya Permendagri 67 Tahun 2017) juga menegaskan larangan serupa.
Perangkat desa tidak diperbolehkan memiliki pekerjaan lain di luar tugas pokoknya yang dapat mengganggu kinerja atau menimbulkan konflik kepentingan.
Selain itu, apa yang disampaikan oleh sekretaris desa sangat bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP) utama di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik dari badan publik, mewajibkan badan publik menyediakan informasi, serta mengatur proses permintaan, penyelesaian sengketa, dan pengecualian informasi tertentu demi mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Sekretaris desa juga diduga melanggar UU Desa pasal 24 yang berbunyi, enyelenggaraan pemerintahan desa berasas keterbukaan. Lalu di pasal 26 ayat 4 yang berbunyi, melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang transparan dan diperkuat pasal 68 yang berbunyi bahwa, masyarakat berhak meminta dan mendapatkan informasi dari pemerintah desa.
Tidak adanya transparansi anggaran dalam pelaksanaan pembangunan, tentunya dapat menimbulkan pemikiran yang negatif dikalangan masyarakat. Terutama dugaan tindak pidana korupsi (Tipidkor). (Ros)


****************************************












