banner 1000x130 **************************************** banner 1000x130

Teknologi Terbatas,Pembelajaran Tetap Bermakna;Refleksi Literasi Digital di SLB

banner 2500x130 banner 2500x130 banner 1000x130

Oleh: Mas Iren Niat Anjelina Zebua

Pernah tidak kita membayangkan bahwa sekolah di era sekarang sudah sepenuhnya modern Dulu,pernah ada pemikiran seperti itu.Terasa seperti semua sekolah sudah dilengkapi dengan tablet, internet cepat, layar sentuh, dan berbagai aplikasi canggih yang sering muncul di videovideo Instagram. Namun, setelah melakukan observasi di salah satu SLB, pemikiran itu seketika lenyap oleh kenyataan. Saat berdiri di depan kelas, melihat sekeliling dan langsung menyadari, “pendidikan kita memang memiliki banyak lapisan.”Ada yang sangat maju,namun ada pula yang masih menggunakan peralatan yang terbatas.

banner 300x250

Di tengah upaya besar untuk mendigitalisasi pendidikan,terdapat satu area yang sering terabaikan yaitu kelas di Sekolah Luar Biasa (SLB),khususnya untuk anak autis. Sementara sekolah-sekolah umum di Indonesia berlomba-lomba menggunakan tablet, aplikasi pembelajaran, serta media digital,proses belajar di SLB lebih sederhana.Penulis menyaksikan sendiri anak autis kelas 1 masih menggunakan buku, kartu bergambar, papan tulis kecil, dan benda nyata dalam pembelajaran. Banyak orang mungkin menganggap ini sebagai kemunduran, tetapi sebenarnya ini sesuai dengan kebutuhan mereka.Anak autis tidak bisa langsung mengoperasikan perangkat digital karena konsentrasi mereka masih terbatas,mereka sensitif terhadap rangsangan,dan lebih nyaman menggunakan media visual yang tidak bergerak. Dari kesederhanaan ini, proses belajar mereka menjadi lebih fokus dan berarti.

Melihat keadaan di Indonesia saat ini, sudah jelas ada perbedaan besar dalam penggunaan teknologi di sekolah.Banyak lembaga pendidikan umum sudah sangat digital.Para siswa terbiasa menonton video pendidikan, mengerjakan tugas melalui aplikasi,serta mengakses materi digital.Namun,kenyataannya sangat berbeda di SLB. Banyak SLB masih kekurangan fasilitas teknologi. Bahkan ada sekolah yang belum memiliki internet, guru mengajar dengan alat seadanya, dan perangkat digital hanya dimiliki oleh satu atau dua pengajar. SLB di daerah terpencil bahkan tidak bisa menggunakan proyektor karena ketidakstabilan listrik.Dari sinilah kita menyadari bahwa digitalisasi pendidikan di Indonesia masih belum merata, dan SLB adalah yang paling merasakannya.

Penulis juga pernah mengalami sesuatu yang membuat berpikir,ketika memasuki kelas autis dasar di sebuah SLB.Hal itu memberikan pengalaman yang sangat berharga bagi penulis,dimana ketika melihat langsung cara pengajaran yang diterapkan oleh guru kepada anak-anak autis.Mereka masih dalam tahap belajar membaca huruf, apalagi menulis.Pada satu kesempatan penulis sempat bertanya kepada guru disitu, “Apakah anak-anak di sini tidak pernah mendapatkan pelajaran menggunakan proyektor?”Jawabannya adalah mereka tentu ingin memanfaatkan teknologi, namun karena ada keterbatasan,mereka harus belajar dengan buku atau alat kreatif lainnya yang disiapkan oleh guru. Dari situ, dapat dipahami bahwa literasi digital bukan sekadar “menggunakan teknologi”. Literasi digital seharusnya memperkenalkan informasi dengan mempertimbangkan kesiapan anak. Buku dan media fisik sebenarnya lebih menenangkan dan efektif untuk tahap perkembangan mereka.

Fenomena lain yang sering muncul di media sosial di Indonesia adalah besarnya harapan masyarakat agar pendidikan menjadi “sepenuhnya digital.”Banyak orang beranggapan bahwa tanpa teknologi, proses belajar terasa kurang maju. Namun di SLB,guru lebih menekankan pada pengaturan diri,komunikasi dasar,dan keterampilan sosial anak. Bahkan, ada sebagian orang tua yang meminta guru untuk mengurangi penggunaan perangkat digital karena anak-anak bisa mengalami tantrum atau overstimulasi jika terlalu lama menatap layar. Dari sini, sesuatu hal dapat dipahami bahwa kebutuhan anak-anak dengan kebutuhan khusus tidak bisa dipaksa mengikuti perkembangan teknologi yang cepat.Pendekatan yang lebih pelan dan terstruktur justru lebih tepat.

Meskipun memiliki keterbatasan dalam teknologi, para guru di SLB tetap bersemangat.Mereka hanya memiliki dua proyektor,sehingga harus bergiliran menggunakan dengan kelas lain.Namun,mereka terus menciptakan cara lain untuk mengenalkan literasi digital secara bertahap.Contohnya,guru mengambil gambar di internet,kemudian mencetaknya.Saat mendapatkan kesempatan menggunakan proyektor, guru memutar video edukatif, seperti tentang cara memakai sepatu. Karena anak-anak dengan autisme cenderung tidak segera paham, guru berperan sebagai penghubung antara dunia digital dan kebutuhan mereka. Mereka tidak memaksa anak untuk menggunakan teknologi,tetapi memperkenalkan manfaatnya dengan pendekatan yang sederhana dan aman.

Dari buku yang penulis baca tentang konsep pendidikan multiliterasi karya Sudirman dan Mahfuzi,bisa dipahami bahwa literasi bukan sekadar kemampuan membaca atau menggunakan perangkat,tetapi juga mencakup literasi pribadi, teknologi, media, budaya, lingkungan, dan kesehatan. Di SLB,pengajaran multiliterasi tidak hanya berfokus pada gadget,melainkan melalui cara menyentuh benda,membaca gambar,mengenal rutinitas,menjaga kebersihan,dan berinteraksi dengan guru.Literasi digital tetap diperkenalkan,tetapi dimulai dari konsep dasar seperti mengenal simbol,mengikuti instruksi,memahami alur cerita, dan mengamati gambar.

Buku yang penulis baca tersebut juga menyatakan bahwa literasi harus berorientasi pada kebutuhan manusia,bukan hanya mengenai teknologi.Siswa autis terutama yang kelas 1 bukanlah peserta didik yang harus mengejar teknologi,melainkan individu yang memerlukan perhatian sesuai dengan perkembangan mereka.Ketika literasi diajarkan secara bertahap, anakanak tidak akan merasa terbebani.Mereka dapat belajar dengan perlahan,tidak seperti di layar yang instan.Metode seperti ini membangun fondasi yang kokoh,sehingga ketika teknologi diperkenalkan di kemudian hari, mereka akan lebih siap secara mental dan kognitif.

Dari semua ini,penulis semakin yakin bahwa keterbatasan teknologi di SLB tidak menghalangi makna dalam pembelajaran. Guru-guru yang kreatif, alat sederhana seperti buku dan kartu gambar, serta pendekatan yang penuh kesabaran membuat proses belajar menjadi nyata dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak.Pada akhirnya, teknologi tidak dapat dijadikan ukuran utama untuk menentukan kualitas pembelajaran. Dari sudut pandang multiliterasi,pembelajaran yang berarti adalah yang memperhatikan kebutuhan anak. Di SLB,literasi digital diperkenalkan secara bertahap,tidak hanya melalui layar,tetapi juga melalui konsep-konsep yang mempersiapkan mereka untuk menghadapi masa depan. Meskipun teknologinya terbatas, esensi dari proses belajar tetap dapat terwujud bahkan dengan cara yang lebih kuat.Multiliterasi bertujuan untuk menghubungkan individu dengan perubahan,bukan memaksa mereka untuk berlari sebelum bisa berjalan. Di SLB, langkah-langkah kecil itu dimulai dengan buku sederhana, guru yang sabar, dan anak autis yang belajar dengan cara mereka sendiri.

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Masyarakat Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan

banner 1000x130
banner 1000x130 banner 2500x130