Surabaya |nusantara jaya news – Manusia sering merasa dirinya paling benar dan baik, tetapi setelah direnungkan, bisa saja ada kekeliruan dalam pemikirannya. Inilah pentingnya introspeksi diri untuk mencapai kebenaran dan kebaikan yang lebih mantap.
Dalam falsafah Jawa, terdapat ajaran “aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa”, yang berarti seseorang sebaiknya tidak merasa paling mampu, tetapi justru harus memiliki kepekaan dalam menilai dirinya sendiri. Ungkapan ini mengajarkan agar manusia tidak bersikap sombong dan selalu mawas diri.
Terdapat tiga tingkatan kebenaran yang sering dijadikan pegangan: benere dhewe (kebenaran menurut diri sendiri yang cenderung subjektif), benere wong akeh (kebenaran berdasarkan kesepakatan umum), dan bener kang sejati (kebenaran hakiki yang bersumber dari firman Tuhan). Pribadi yang mendekati kebenaran hakiki biasanya memiliki sikap rendah hati, sebagaimana filosofi ilmu padi—semakin berisi, semakin menunduk.
Para leluhur Jawa, termasuk para pujangga dan Wali, telah menanamkan nilai-nilai ini melalui tembang Macapat dan ajaran-ajaran kebijaksanaan. Mereka menekankan pentingnya kesopanan, etika, moral, serta sifat pemurah dan bijaksana.
Sebaliknya, mereka yang banyak bicara tetapi minim wawasan sering diibaratkan seperti pepatah “tong kosong nyaring bunyinya” atau “air beriak tanda tak dalam”. Orang-orang seperti ini cenderung menunjukkan kesombongan tanpa kebijaksanaan. Dalam kehidupan, lebih baik bersikap tenang dan penuh pertimbangan, karena seperti pepatah mengatakan, “diam itu emas”. (Nng)