SURABAYA |Nusantara Jaya News – Nama Ir. Handinoto seolah bagai peribahasa klasik “setali tiga uang”. Handinoto adalah sosok pemerhati dan penulis arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya. Sementara bangunan dan Arsitektur Belanda di Surabaya adalah objectnya. Orang ingat arsitektur Belanda, ingat Handinoto. Demikian sebaliknya, orang kenal Handinoto, ingat arsitektur Belanda.
Ya, buku karyanya yang berjudul “Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940” menjadi rujukan penting tentang studi arsitektur kolonial Belanda di Surabaya.
Tentu ini mengingatkan hal penting serupa tentang Herman van der Tuuk, tokoh peletak dasar linguistik bahasa bahasa Nusantara, yang juga menjadi sumber bagi banyak pihak di dalam dan di luar negeri.
Van der Tuuk adalah bahasa bahasa daerah. Riwayat bahasa bahasa daerah adalah Van der Tuuk.
Bagaimana Van der Tuuk dalam catatan Ir. Handinoto, yang selain dikenal sebagai dosen Universitas Petra Surabaya juga sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Surabaya?
Berikut catatannya yang disampaikan ke redaksi media ini.
Makam van van der Tuuk memang ada di peneleh. Ia sangat dihargai oleh para linguis.
Karena perannya sebagai pionir dokumentasi dan linguistik bahasa-bahasa Nusantara: di zaman dia, banyak bahasa lokal yang mungkin belum banyak ditulis atau diteliti dengan sistematis. Van der Tuuk melakukan banyak hal yang baru dan penting.
Karyanya sering menjadi sumber primer (primary sources) dalam studi bahasa daerah dan sejarah budaya di Indonesia.
Karena identitasnya yang unik: bukan hanya ilmuwan asing, tapi seorang yang cukup dekat dengan budaya lokal — tinggal di Surabaya dan di Singaraja (Bali), menyelami manuskrip lokal, bersahabat dengan seniman tradisional.
Warisan naskah dan manuskripnya dianggap sangat bernilai — misalnya kamus Lampung yang disimpan lama di Belanda, kemudian baru-baru ini dikembalikan, karena itu adalah warisan budaya & intelektual.
Jadi secara ilmiah dan budaya, menurut saya dia sangat dihargai karena:
1. Dokumentasi bahasa — di masa ketika banyak bahasa daerah belum terdokumentasi dengan baik, dia menyusun kamus dan tata bahasa — kontribusi yang sangat penting untuk pelestarian bahasa.
2. Penelitian lapangan — bukan hanya studi dari perpustakaan atau teori, tapi ia turun langsung ke lapangan: memperhatikan logat lokal, manuskrip, bahasa lisan.
3. Pengaruh terhadap studi perbahasaan Indonesia — karya-karyanya menjadi referensi penting bagi para ahli linguistik setelahnya.
Restorasi Makam Herman van der Tuuk.

Melihat pentingnya makam Van der Tuuk sebagai tetenger sosok yang berjasa terhadap bahasa bahasa daerah di Nusantara dan itu ada di Surabaya, maka merawat tetenger itu menjadi sebuah upaya menjaga dan melestarikan ingatan kolektif tentang tokoh Van der Tuuk dan pelestarian bahasa dan aksara daerah.
Gagasan mulia untuk memperbaiki makam Van der Tuuk merupakan bentuk penghormatan terhadap sosok Herman van der Tuuk, yang merupakan bapak linguistik modern Nusantara. Apalagi gagasan ini muncul dari perhatian bersama dua pihak pihak di kedua negara Belanda dan Surabaya.
Stichting Anak Mas (Belanda) dan Puri Aksara Rajapatni (Surabaya) menggagas perbaikan makam itu sebagai penghormatan terhadap sosok yang telah menaruh perhatian terhadap bahasa dan aksara daerah. Sementara kedua komunitas di dua negara ini juga memiliki perhatian yang sama terhadap aksara.
Melalui pelestarian bangunan makam menjadi pengingat upaya pelestarian bahasa dan aksara daerah di Nusantara. Upaya ini selaras dengan kebijakan kota Surabaya, yang turut melestarikan bahasa dan aksara Jawa.
Ada program “Kamis Mlipis”, yang merupakan gerakan menggunakan bahasa Jawa di sekolah SD dan SMP. Juga ada penulisan Aksara Jawa untuk nama nama kantor pemerintah mulai dari tingkat Kelurahan, Kecamatan, OPD, Balai Kota, hingga DPRD Kota Surabaya.
Apalagi sekarang sedang dibahas Raperda Pemajuan Kebudayaan oleh Pansus DPRD Surabaya, dimana Aksara diusulkan sebagai Object Pemajuan Kebudayaan (OPK) mendampingi Bahasa, yang terlebih dahulu masuk sebagai salah satu OPK.
Usulan Aksara sebagai Object Kebudayaan ini juga relevan dengan sejarah perhatian Van der Tuuk ketika mempelajari bahasa Kawi. Untuk mengenal bahasa Kawi yang digunakan dalam kurun waktu abad 9-15, dimana ia baru hidup di abad 19, maka ia harus mengenal dan belajar aksara Kawi melalui manuskrip dan prasasti.
Jadi Van der Tuuk secara tersendiri belajar aksara sebelum belajar bahasa. Hal ini selaras dengan kebijakan kota Surabaya terhadap pelestarian bahasa dan aksara daerah. (nng).