Aceh|nusantara jaya news |Natal kembali dirayakan dengan seruan damai yang menggelegar dari mimbar gereja hingga podium kekuasaan. Damai diucapkan sebagai doa, harapan dan penutup tahun yang melelahkan. Namun banyak diwilayah Sumut, Sumbar dan Aceh damai itu tidak benar-benar hadir yang tersisa justru kesunyi-kesunyian para korban yang kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan rasa aman di tanahnya sendiri.
Menutup tahun 2025 Sumut 1090 orang meninggal, 186 Orang hilang, 7000 orang luka, sumbar dan Aceh dilanda banjir, longsor dan bencana ekologis lainnya. Pemukimaan terendam, jalan terputus, sawah rusak, ribuan orang meninggal dan tidak sedikit juga yang mengungsi dan mengalami luka ringan dan luka berat.
Natal dalam iman Kristiani, bukan perayaan yang lahor dari kenyamanan dan kemapanan. Natal adalah peristiwa Inkarnasi Tuhan yang memilh hadir di palungan, ditengah keterbatasan dan penuh kesederhanaan. Dan kabar kelahiran itu pertama-tama disampaikan kepada para gembala, kelompok yang hidup dipinggir struktur sosial, bukan kepada para pejabat saat itu.
Maka ketika para korban bencana di Sumut, Sumbar dan Aceh merayakan natal ditenda pengungsian, refleksi iman seharusnya menggugah nurani, apakah damai itu benar-benar hadir atau hanya diucapkan?
Kesunyian korban semakin dalam ketika penderitaan mereka cepat dilupakan. Setelah sorotan media meredup, mereka dipaksa bangkit sendiri, diberi label Tangguh dan diminta bersabar. ketangguhan rakyat sering digunakan untuk menutup kegagalan struktural. rakyat dipuji karena mampu bertahan, bantuan luar negeri ditolak dengan narasi negara Tangguh bencana, sementara tanggung jawab atas kebijakan yang merusak lingkungan dibiarkan tanpa evaluasi serius. Sunyi ini bukanlah damai, melainkan bentuk lain dari ketidakadilan.
Natal mengajarkan bahwa damai bukan sekedar ketiadaan konflik, melainkan hadirnya keadilan. Damai yang sejati lahir dari keberanian untuk berpihak pada korban dan menghentikan sumber penderitaan.
Bagi Sumut,Sumbar dan Aceh itu berarti keberanian untuk menghentikan praktik pembangunan yang merusak, menata ulang tata Kelola sumber daya alam dan menempatkan keselamatan rakyat diatas kepentingan jangka pendek.
Menjelang natal dan menyongsog tahun baru, refleksi seharusnya tidak berhenti pada harapan kosong. Tahun baru menuntut pertobatan nyata, pertobatan kebijakan, pertobatan pembaangunan dan pertobatan cara pandang terhadp alam sebagai ruang hidup bersama, bukan sekadar objek eksploitasi. Tanpa itu bencana akan terus berulang dan korban akan terus bertaambah.
Damai natal hanya akan menemukan maknanya ketika suara korban Sumatera dan Aceh tidak lagi tenggelam dalam kesunyian. Ketika negara hadir sebelum bencana dan bukan hadir setelah bencana. Ketika keadilan ekologis dan sosial dijadikan fondasi pembangunan. Jika tidak, maka setiap natal akan kembali dirayakan dengan damai dibibir ucapan, sementara Sumatera dan Aceh luka-luka lama terus diwariskan dari satu tahun ketahun berikutnya, Salam Damai Natal 2025 dan Bahagia Tahun 2026.
Penulis : Alvin Aha
(Red/Rif)


****************************************












