JATIM – (nusantarajayanews.id) – Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peristiwa, yang terjadi dibalik penanggalan ini, adalah terjadinya gelombang guncangan yang mengancam bangsa Indonesia.
Meski bangsa ini telah merdeka, namun serangkai aksi yang mencoba merongrong keutuhan bangsa bak air mengalir dari atas. Adalah Pancasila yang mampu membendung derasnya gelombang dan guncangan itu.
Pada pasca kemerdekaan, memang terjadi serangkaian pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia.
Pemberontakan terbesar adalah pemberontakan PKI, yang dikenal dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30 S PKI) pada 1965.
Pemberontakan ini dapat digagalkan dan ditumpas berkat kesadaran berpancasila. Di situlah, Pancasila sebagai ideologi bangsa dapat menjadi tameng dalam melindungi bangsa Indonesia. Di situlah terlihat bahwa Pancasila itu sakti.
Dikutip dari laman resmi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Pancasila disebut sakti karena Indonesia terdiri dari beragam suku, budaya, dan agama, namun bisa satu. Dari banyaknya perbedaan tersebut, ragam rintangan dilalui oleh bangsa Indonesia, termasuk peristiwa G30S-PKI. Pancasila dapat melindungi bangsa dari terpaan badai yang mencoba menggoyangkan hingga memecah belah dasar negara itu.
Sekarang, bangsa ini dirasa masih belum aman. Masih ada guncangan guncangan lain yang mengombang ambingkan perahu kebangsaan. Salah satunya ancaman itu adalah sendi budaya.
Soekarno pernah memiliki gagasan Trisakti. Tiga Sakti ini adalah berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan. Sebenarnya inti dari Trisakti ini merupakan perlawanan terhadap (antitesa dari) kolonialisme, imperialisme dan feodalisme.
Saat ini Indonesia boleh dibilang berdaulat di bidang politik dan berdikari di bidang ekonomi. Namun, di bidang kebudayaan, Indonesia di bawah bayang bayang pribadi manca negara (asing). Seperti ramalan Jayabaya yang mengatakan “kali ilang kedunge, pasar ilang kumandhange” (sungai kehilangan kedalamannya, pasar kehilangan keramaianya), yang berarti kehilangan jati diri.
Perubahan sosial dan kultur ini sudah merasuk ke sendi sendi kehidupan. Pasar tradisional telah digantikan oleh pasar moderen dimana harga harga barang telah dibandrol dengan harga pas (tidak bisa ditawar). Jika mau, silakan beli. Jika tidak, silakan pergi. Di sana tidak ada tawar menawar, tidak ada komunikasi sosial antara pedagang dan pembeli.
Budaya asing, yang tidak sesuai dengan budaya lokal, sudah hidup berdampingan dengan budaya lokal dan cenderung melibas budaya lokal sehingga pola dan gaya hidup orang perkotaan lebih ke gaya metropolitan. Mereka lupa tata nilai lokal (tata krama, tata bahasa, tata busana, tata pikir dan tata rasa). Cepat atau lambat, orang Jawa tidak tau Jawanya. Orang Indonesia, tidak kenal Indonesianya.
Budaya sebagai identitas (lokal maupun nasional) yang menjadi tulang punggung bangsa, yang membedakan dengan bangsa bangsa lain, rawan terdegradasi dan hilang. Hilangnya identitas bangsa ini berarti runtuhnya suatu bangsa.
Jika degradasi nilai dan identitas lokal dan nasional ini terus terjadi, cepat atau lambat, bangsa Indonesia akan tiada. Pengalaman sejarah bahwa pernah ada negara Majapahit, kini Majapahit telah tiada. Logika ini bisa terjadi pada Indonesia, jika masyarakatnya tidak sadar akan bahaya itu.
Karenanya dibutuhkan benteng benteng budaya dan kesadaran nasional akan budaya bangsa. Salah satu benteng benteng itu adalah media.
Ketua Dewan Pers, kala itu di tahun 2018, Yosep Adi Prasetyo mengklaim bahwa ada sekitar 47.000 media massa terdiri dari media cetak, radio, televisi dan media online, Indonesia memiliki media masa paling banyak di dunia.
Kemudian pada peringatan Hari Pers Nasional 2022, Laporan kajian Indonesian Media Landscape 2022 menyebut peta media massa di Indonesia mengalami perubahan cukup signifikan menyusul tutupnya beberapa media akibat pandemi Covid-19 lalu.
Pertanyaannya adalah dari banyak lembaga media itu berapa persen yang memiliki keberpihakan ke isu isu budaya dimana mereka bisa berperan sebagai garda depan sebagai pelindung budaya nasional.
Sementara dari Trisakti (tiga gagasan pusaka), Kepribadian di bidang Kebudayaan belum maksimal diperhitungkan. Terbukti kelembagaan Kebudayaan masih berada di tingkat Direktorat Jendral, dibawah institusi Kementerian (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi).
Ketika kebudayaan adalah penting, setidaknya ada kelembagaan di tingkat kementerian tersendiri di bidang kebudayaan. Yaitu Kementerian Kebudayaan, seperti Kementerian Olahraga, Kementerian Agama, Kementerian Pariwisata, Kementarian Sosial dan lainnya.
Kiranya dibutuhkan kementerian tersendiri di bidang kebudayaan, Kementerian Kebudayaan, agar urusan urusan terkait dengan isu kebudayaan dan upaya pemajuan kebudayaan yang begitu banyak, kompleks dan penting ini dapat tertangani.
Kehadiran media masa yang bisa fokus ke isu isu budaya juga sangat dibutuhkan. Di Surabaya sudah ada media online Begandring Soerabaia dan baru saja pada 1 Oktober 2022 muncul media online abad.id.
Ini menambah daftar media media serupa yang sudah eksis sebelumnya seperti Historia, terekota.id dan National Geographic.
Semoga hadirnya media media yang peduli terhadap peradaban, kebudayan dan sejarah ini dapat menjadi pelindung identitas bangsa sehingga bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa berkepribadian di bidang kebudayaan. (Nanang)