JATIM – (nusantarajayanews.id) – Wayang Topeng dalam budaya Jawa mempunyai perkembangan yang beragam, baik sebagai pertunjukan ritual ataupun sebagai seni pertunjukan.
Semula topeng adalah benda yang wujudnya sebagai peniruan wajah leluhur, yaitu orang yang telah meninggal dunia, seperti kepala keluarga, marga, kepala suku, atau pangeran-pangeran dari kerajaan masa lalu.
Keterkaitan topeng dengan roh leluhur. Pada dahulu kala ada tradisi yang membawa topeng-topeng milik penari tertentu ke makam khusus (Pundhen) untuk mendapatkan magis, aktivitas itu bagi masyarakat setempat disebut ‘stren’
Wayang Topeng merupakan tradisi budaya dan religiusitas masyarakat Jawa sejak zaman Kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin oleh Raja Gajayana sekitar abad ke 8 M.
Topeng waktu itu yang terbuat dari batu adalah bagian dari acara persembahyangan. Kemudian pada masa [[Raja Erlangga, topeng dikontruksi menjadi kesenian tari.
Topeng digunakan menari waktu itu untuk mendukung fleksibilitas si penari. Sebab waktu itu sulit untuk mendapatkan riasan (make up), untuk mempermudah riasan, maka para penari tinggal mengenakan topeng di mukanya.
Wayang Topeng Malangan ini mengikuti pola berpikir India, karena sastra yang dominan adalah sastra India. Jadi cerita Dewata, cerita pertapaan, kesaktian, kahyangan, lalu kematian itu menjadi muksa.
Sehingga sebutan-sebutannya menjadi Bhatara Agung. Jadi itu peninggalan leluhur kita, sewaktu leluhur kita masih menganut agama Hindu Jawa, yang orientasinya masih India murni.
Termasuk wayang topeng juga mengambil cerita-cerita dari India, seperti kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana. Wayang Topeng ini dipakai media komunikasi antara kawulo dan gusti, antara raja dan rakyatnya.
Kemampuan untuk menyerap segala sesuatunya dan membumikan dalam nilai kejawaan juga banyak terjadi tatkala Islam dan Jawa mulai bergumul dalam konteks wayang topeng.
Saat kekuasaan Kertanegara di Singasari, cerita wayang topeng digantikan dengan cerita-cerita Panji. Hal ini dapat dipahami ketika Kertanagera waktu itu menginginkan Singasari menjadi kekuasaan yang sangat besar ditanah Jawa. Panji yang didalamnya mengisahkan kepahlawanan dan kebesaran kesatria-kesatria Jawa, terutama masa Jenggala dan Kediri.
Cerita Panji dimunculkan sebagai identitas kebesaran raja-raja yang pernah berkuasa ditanah Jawa. Cerita-cerita Panji yang direkonstruksi oleh Singasari adalah suatu kebutuhan untuk membangun legitimasi kekuasaan Singasari yang mulai berkembang.
Pada saat agama Islam masuk Jawa untuk merebut hati orang-orang Jawa. Proses Islamisasi wayang topeng oleh para wali yang menampilkan kisah marmoyo sunat merupakan sederet cerita bagaimana Islam memproduksi nilai didalamnya.
Cerita menak merupakan tanda masuknya Islam ditanah Jawa. Oleh karena itu cerita menakjinggo yang selama ini dominan berkembang adalah cerita menak yang dikonstruk oleh keraton Mataram yang pada dasarnya adalah Islam. (red)