JATIM |nusantarajayanews.id – TVRI Jawa Timur dan Begandring Soerabaia kembali memproduksi film dokumenter. Kali ini mengambil tema kepahlawanan 10 November. Sebelumnya, dua film dokumenter yang telah diproduksi bersama, yakni Jalan Sunyi Letkol. dr. Soebandi dan Koesno, Jati diri Soekarno.
Kedua film dokumenter tersebut mendapatkan penghargaan Gatra Kencana Terbaik bulan Juni dan Agustus 2022, periode bulanan pada kompetisi internal TVRI.
Tidak puas dengan prestasi yang sudah ada, TVRI Jatim dan Begandring Soerabaia melanjutkan kolaborasi dalam menggali dan menyuguhkan khazanah kesejarahan Kota Surabaya. Mereka juga didukung Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya.
“Surabaya sungguh kaya akan sejarah. Terlebih sejarah kepahlawanan dan Surabaya memiliki orang orang yang peduli dengan sejarah itu. Sumber daya ini sangat sayang untuk dibiarkan saja. Karenanya kami terus berupaya menghasilkan karya sebagai upaya pendokumentasian dan sekaligus berbagi khasanah kesejarahan,” kata Andre Arisotya, sutradara film dokumenter ini.
Menurutnya, film dokumenter kepahlawanan Surabaya 10 November ini dijadwalkan tayang dalam jaringan layar kaca TVRI Nasional pada peringatan Hari Pahlawan 2022.
“Hingga hari Senin, 17 Oktober 2022, sudah ada 8 scene dari 28 scene yang telah diambil. Targetnya, 10 November harus sudah selesai,” jelas Andre.
Sementara itu, Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Begandring Soerabaia, Achmad Zaki Yamani mengatakan, alur cerita yang dibuat dalam ini berdasarkan fakta-fakta sejarah.
“Kami bersama tim sudah menyusun poin-poin alur cerita yang disesuaikan dengan target durasi film,” katanya.
Menurut dia, seiring dengan perubahan zaman, banyak hal yang turut berubah di lokasi lokasi peristiwa sejarah.
“Hal ini sedikit menyulitkan untuk mendapatkan setting lokasi yang persis seperti peristiwa nyata,” terang dia.
Kesulitan ini diakui oleh sutradara Andre Arisotya. “Beberapa setting lokasi bersejarah direkayasa. Lokasinya disesuaikan menyerupai kondisi asli. Sebab bangunan aslinya sudah mengalami perubahan dan modernisasi,” kata dia.
Kesulitan lain yang dialaminya adalah sejumlah properti yang terpaksa dibuat tiruan. Ini karena barang aslinya sudah tidak ada. Semisal radio bekupon dan microphone seperti yang dipakai Bung Tomo.
“Termasuk mobil sedan kuno seperti yang ditumpangi AWS Mallaby,” imbuh Andre.
Sementara terkait wardrobe (kostum) tidak mengalami kesulitan. Karena komunitas sejarah yang terlibat telah memiliki pakaian yang dibutuhkan, mulai dari seragam BKR, TKR, Jepang, PETA hingga tentara Sekutu berikut unit unit pendukungnya.
“Mereka ini orang-orang yang sudah terbiasa main dalam atraksi reka ulang peristiwa perang,” imbuh Zaki Yamani.
Hingga scene ke-8, lokasi syuting masih bertempat di kawasan Peneleh. Salah satu sportnya di Lodji Besar untuk kebutuhan setting indoor rumah lama.
Andre berharap karya bersama ini dapat memperkaya literasi sejarah Kota Surabaya, mengingatkan kembali heroisme Arek-Arek Suroboyo dengan menampilkan beberapa detail fakta sejarah yang mungkin belum pernah diangkat di film serupa sebelumnya. (nanang)