Oleh. Intan Nur Fauziah Saputri
Baru-baru ini, media sosial ramai dengan berita terkait polemik seputar kebijakan pemerintah dalam menyediakan alat kontrasepsi bagi remaja, yang ternyata menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Bagaimana tidak, kebijakan pemerintah ini dianggap sebagai langkah kontroversial yang memunculkan pertanyaan fundamental : apakah ini merupakan upaya perlindungan kesehatan atau justru bentuk permisivitas yang mengarah pada pelegalan seks bebas bagi remaja?
Polemik kebijakan tersebut dinilai banyak sekali menimbulkan negatif, meskipun pada dasarnya adanya kebijakan yang dilatar belakangi selama ini di Indonesia. Mengacu, pada angka kehamilan remaja masih diperbincangkan dengan serius. Berdasarkan sumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan bahwa akhir tahun 2023 sampai saat ini mencapai sekitar 7,3 persen remaja Perempuan di Indonesia yang telah melahirkan, setidaknya satu anak sebelum usia 19 tahun. Bahkan, usia dibawah 19 tahun ini masih dalam status pelajar menengah pertama hingga atas.
Sehingga, meningkatnya angka kehamilan pada usia muda berisiko tinggi bagi kesehatan ibu dan anak serta memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Dengan demikian, munculnya kebijakan terkait akses terhadap alat kontrasepsi bisa dianggap sebagai salah satu solusi untuk menurunkan angka kehamilan remaja.
Dalam hal ini pandangan bagi kesehatan, penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja juga dianggap sebagai langkah penting dalam melindungi kesehatan reproduksi mereka. Adapun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ternyata jiha mendukung pendidikan dan akses kontrasepsi sebagai bagian dari hak kesehatan reproduksi, termasuk bagi remaja. Karena menurut WHO, kontrasepsi yang dapat diakses oleh remaja pastinya dapat membantu mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, yang pada gilirannya dapat mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Disisi lain, kebijakan ini juga menuai kritik dari berbagai kalangan yang khawatir bahwa penyediaan alat kontrasepsi dapat dianggap sebagai bentuk permisivitas yang mendorong perilaku seksual bebas di kalangan remaja.
Terlebih, kebijakan ini apabila diterapkan di Indonesia maka menjadi salah satu isu yang harus segera ditindaklanjuti agar tidak sampai mengesahkan kebijakan tersebut, hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah muslim terbesar dunia sehingga apabila kebijakan tersebut diterapkan maka sama saja merusak moral, nilai agama, dan budaya yang selama ini dijaga di.kalamgam masyarakat.
Namun, polemik kebijakan pemerintah terkait kasus ini karena bagaimanapun penyediakan alat kontrasepsi tanpa diimbangi dengan pendidikan yang tepat tentang seksualitas dan nilai-nilai moral. Justru, nantinya dapat mendorong remaja untuk lebih bebas melakukan hubungan seksual tanpa mempertimbangkan risiko lainnya seperti infeksi menular seksual, ataupun berbagai penyakit kelamin lainnya, berarti sama saja mengurangi risiko kematian dikarenakan hamil diusia muda, maka akan ada peningkatkan angka kematian dan penderita penyakit kelamin yang berdampak negatif secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, untuk menyelaraskan kedua pandangan yang berlawanan ini. Perlu, adanya pendekatan yang lebih komprehensif bagi pemerintah untuk mengesahkan kebijakan tersebut, terlebih juga masih banyak lagi berbagai cara untuk mengatasi permasalaham hamil muda bagi remaja.
Dengan cara mengedepankan edukasi tentang kesehatan reproduksi yang inklusif dan menyeluruh serta mengerakkan program KB, agar nantinya dapat mmenjadi kunci untuk menyeimbangkan antara perlindungan kesehatan dan pembentukan karakter moral di kalangan remaja. Karena bagaimanapun Indonesia merupakan negara muslim terbesar, jangan sampai dengan adanya kebijakan ini justru merusak generasi penerus bangsa secara perlahan-lahan serta menimbulkan masalah kesehatan yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia khususnya kalangan remaja.
*) Penulis adalah mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahmi Malang