Ditulis oleh; Jeremy Nicholas
Peristiwa kekerasan yang terjadi di SMA Kristen Gloria 2 Surabaya pada 21 Oktober 2024 benar-benar mengguncang banyak pihak. Kejadian ini, yang awalnya tampak sederhana, dipicu oleh hasil pertandingan basket antara siswa SMA Kristen Gloria 2 dan SMA Cita Hati East.
Setelah pertandingan, seorang siswa dari SMA Kristen Gloria 2 mengejek lawannya dengan kalimat “rambutnya mirip anjing pudel”. Tentu saja, ejekan ini tidak diterima dengan baik oleh siswa SMA Cita Hati East berinisial EMS, yang kemudian melaporkan ejekan tersebut kepada ayahnya.
Tak tinggal diam, ayah EMS membawa sejumlah preman dan mendatangi SMA Kristen Gloria 2, yang pada akhirnya membuat keributan besar di depan sekolah. Kejadian ini viral di media sosial dan menjadi topik pembicaraan banyak orang.
Kisah ini memang memperlihatkan betapa mudahnya masalah kecil menjadi besar, apalagi di tengah era digital dan media sosial. Namun, jika kita mau belajar dari peristiwa ini, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang bisa kita ambil.
Ini bukan hanya soal konflik antarsekolah, tetapi juga tentang bagaimana kita berbicara, membesarkan anak, dan menjadi teladan sebagai orang tua.
1.Pentingnya Menjaga Perkataan
Masalah besar yang terjadi di SMA Kristen Gloria 2 bermula dari sebuah ejekan sederhana: “rambutnya mirip anjing pudel.” Di satu sisi, mungkin ada yang merasa ejekan ini sepele dan tidak perlu ditanggapi serius. Tapi di sisi lain, bagi yang diejek, kata-kata ini bisa melukai harga diri dan memicu konflik yang lebih besar. Dalam kasus ini, ejekan tersebut menjadi percikan kecil yang akhirnya menyulut kebakaran.
Kita harus ingat, dalam kehidupan sehari-hari, kata-kata punya kekuatan yang luar biasa. Apa yang kita anggap remeh, bisa menjadi masalah besar bagi orang lain. Perkataan yang keluar tanpa dipikirkan matang-matang bisa memicu emosi, perpecahan, dan dalam beberapa kasus, bahkan kekerasan.
Maka dari itu, menjaga perkataan menjadi sangat penting, apalagi di era media sosial, di mana apa yang kita ucapkan atau tulis bisa dengan cepat menyebar dan berdampak luas. Kata-kata, meskipun ringan, punya potensi untuk menyakiti, dan sering kali, luka dari kata-kata lebih dalam daripada yang kita bayangkan.
2. Ajarkan Kepada Anak Untuk Menyelesaikan Permasalahannya Sendiri
Pelajaran berikutnya yang bisa kita ambil dari kejadian ini adalah pentingnya memberi kesempatan kepada anak-anak untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Dalam kasus ini, keterlibatan orang tua ayah dari EMS justru memperburuk situasi. Dengan membawa preman ke sekolah, ayah EMS bukannya membantu menyelesaikan masalah, malah memperbesar konflik yang seharusnya bisa diselesaikan oleh anak-anak dengan mediasi yang lebih baik.
Sebagai orang tua, tentu saja kita ingin melindungi anak-anak kita dari bahaya. Namun, ada kalanya campur tangan orang tua dalam masalah antar anak justru membuat anak tidak mandiri. Mereka jadi bergantung pada orang tua untuk menyelesaikan setiap konflik yang mereka hadapi.
Padahal, di usia remaja, anak-anak perlu belajar bagaimana menghadapi dan menyelesaikan masalah mereka sendiri. Keterlibatan orang tua dalam konflik anak-anak bisa menghilangkan kesempatan bagi anak untuk belajar bernegosiasi, berkomunikasi dengan baik, dan mencari solusi atas masalahnya sendiri.
Tentu saja, sebagai orang tua, kita tetap harus ada di belakang mereka sebagai penopang dan pemberi nasihat. Tetapi, jika kita terlalu cepat terjun langsung, anak-anak tidak akan pernah belajar bagaimana caranya menyelesaikan masalah secara mandiri. Lebih baik jika kita memberikan arahan yang baik tanpa terlibat terlalu jauh, agar mereka tetap bisa berkembang menjadi pribadi yang mandiri.
3. Jadilah Teladan Bagi Anak-Anak Kita
Pelajaran terakhir yang bisa kita petik dari kasus ini adalah tentang pentingnya keteladanan orang tua dalam menyelesaikan konflik. Tindakan ayah EMS yang membawa preman ke sekolah jelas bukan contoh yang baik bagi anak-anak. Orang tua seharusnya menjadi panutan dalam setiap situasi, terutama ketika konflik terjadi. Membawa preman dan menciptakan keributan di depan sekolah bukanlah solusi yang tepat, apalagi di lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman dan damai.
Sebagai orang tua, kita punya tanggung jawab besar untuk mengajarkan anak-anak cara menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan sikap yang bijaksana. Dalam kasus ini, alih-alih mengambil tindakan kekerasan, ayah EMS seharusnya bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih elegan, misalnya dengan berkomunikasi melalui pihak sekolah atau mencari mediasi yang lebih baik. Dengan begitu, anak juga akan belajar bahwa cara terbaik menyelesaikan masalah bukan dengan kekerasan, tetapi melalui dialog dan komunikasi yang baik.
Ketika orang tua menunjukkan sikap yang bijaksana dan sabar dalam menghadapi masalah, anak-anak akan mencontoh perilaku tersebut. Namun sebaliknya, jika orang tua menunjukkan sikap yang emosional dan tidak terkendali, anak-anak juga akan meniru hal yang sama. Dalam situasi ini, penting bagi orang tua untuk selalu mengedepankan ketenangan dan mencari solusi terbaik tanpa harus melibatkan emosi yang berlebihan.
Kesimpulan
Insiden kekerasan di SMA Kristen Gloria 2 Surabaya memberikan kita banyak pelajaran berharga. Konflik yang awalnya tampak kecil dan sepele bisa berkembang menjadi masalah besar jika tidak ditangani dengan baik. Kasus ini mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga perkataan, terutama dalam interaksi sosial yang melibatkan anak-anak dan remaja.
Selain itu, orang tua perlu memberi ruang bagi anak-anak untuk belajar menyelesaikan masalah mereka sendiri, tanpa terlalu cepat ikut campur. Terakhir, orang tua harus selalu menjadi teladan dalam menghadapi konflik, mengajarkan anak-anak untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan dialog yang baik.
Dengan memahami tiga pelajaran ini, kita bisa mencegah terulangnya insiden serupa di masa depan dan menjaga sekolah sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk belajar. Pada akhirnya, tanggung jawab kita Bersama baik sebagai orang tua, guru, maupun masyarakat adalah memastikan bahwa generasi muda kita tumbuh menjadi pribadi yang bijak, mandiri, dan mampu menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.
Penulis Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga