banner 1000x130 **************************************** banner 1000x130

Gloria, Pembullyan, dan Lemahnya Institusi Pendidikan

banner 2500x130 banner 2500x130 banner 1000x130

Ditulis oleh; Jeremy Nicholas

Kasus pembullyan Kembali terjadi lagi, kali ini berada di SMP Kristen Gloria 1, Kota Surabaya. Kasus bermula saat murid laki laki berinisial B melakukan pembullyan dengan menulis di sebuah kertas “we love G” dan menempelkannya di mading kelas Bahasa inggris.

banner 2500x130

Melihat kertas tersebut siswi berinisial G sontak bertanya kepada temannya mengenai penulis kertas tersebut. Karena terlalu takut, temannya tidak berani menjawabnya dengan jujur. Tak lama setelah itu, kelas Kembali berjalan hingga siswi tersebut ijin ke kamar kecil.

Di dalam kamar kecil, siswi tersebut meluapkan emosinya dengan marah hingga menangis, setelah itu ia Kembali ke kelas dan duduk di mejanya. Beberapa saat kemudian siswi tersebut dengan botol ditangannya mendatangi B dan langsung memukulnya dengan sangat keras hingga bercucuran darah dari kepalanya.

Dari kasus tersebut kita dapat merenungkan beberapa hal dari sudut pandang sekolah, pelaku pembullyan, dan korban. Namun didalam artikel ini marilah kita merucutkan fokus kita kepada bagaimana ketidakmampuan sekolah mengantisipasi kejadian seperti.

Bukankah sekolah seharusnya menjadi Lembaga utama yang memperhatikan perilaku seluruh muridnya? Maka dari itu, kita dapat merumuskan 3 hal utama yang membuat sekolah gagal mengantisipasi kasus ini.

Kurang pekanya para guru terhadap kondisi murid

Pembullyan yang hanya terjadi sekali tidak akan membuat respon korban separah itu hingga memukul kepala pelaku dengan botol. Tidak masuk akal bila pembullyan hanya dilakukan sekali, namun besar kemungkinannya telah terjadi berulang kali serta dalam jangka waktu yang Panjang.

Dalam jangka waktu tersebut, seharusnya guru dapat memperhatikan murid yang berperilaku aneh dan kurang baik. Ciri-ciri paling mudah untuk di perhatikan dari perilaku korban pembuliyan adalah melalui perilaku sosialnya.

Biasanya korban akan cenderung untuk menyendiri, memiliki kemampuan bersosialisasi yang rendah, dan suka melamun (Hertinjung & Susilowati, 2014). Ciri-ciri tersebut dapat menjadi pegangan guru untuk melihat perilaku muridnya yang tidak seperti biasanya. Melalui kepekaan dan kemampuan guru mengidentifikasi perilaku yang abnormal, niscaya kejadian seperti ini dapat diminimalisir.

Selanjutnya, guru tidak boleh mengabaikan laporan, baik yang tampak kecil maupun yang serius. Seringkali, tindakan pembullyan dianggap sebagai kejahilan biasa di mata guru, sehingga mereka tidak menanggapinya dengan serius.

Padahal, sikap seperti ini justru dapat mendorong peningkatan intensitas perilaku pembuliyan. Dalam kasus diatas tidak mungkin siswi tersebut tidak pernah melapor mengenai hal yang dialaminya, tetapi mungkin saja gurunya menganggap perlakuan tersebut hanya sebatas becandaan atau kejahilan remaja belaka.

Sebagai guru yang bijak, penting untuk menelusuri setiap laporan yang masuk dan menanggapi setiap kasus dengan serius.
Lemahnya institusi dalam menerapkan kebijakan.

Faktor pendorong utama dalam melakukan sebuah penyimpangan adalah perasaan keuntungan yang lebih besar dari kerugian akibat melakukan sebuah penyimpangan. Dalam Konteks ini, inkonsistensi dan lemahnya kebijakan dapat membuat pelaku berpikir bahwa keuntungan dalam membuli lebih besar dari sanksi yang akan didapatnya.

Oleh karena itu, sekolah seharusnya berperan aktif dalam menerapkan kontrol sosial dengan memastikannya adanya peraturan tertulis yang tegas terkait pembullyan, termasuk prosedur pelaporan dan sanksi yang diberlakukan secara konsisten.

Sayangnya di banyak institusi termasuk pada sekolah diatas, hal itu hanya sebatas formalitas dan jarang diimplementasikan secara nyata.

Sebagai contoh daripada sekolah membuat kebijakan mengenai pemanggilan orang tua dan melakukan skorsing. Seharusnya sekolah dapat membuat kebijakan yang lebih keras seperti pengeluaran langsung apabila terbukti melakukan Tindakan pembullyan.

Namun tentu saja kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan efektif apabila dilakukan dengan konsisten terhadap seluruh murid tanpa memandang bulu. Untuk memaksimalkan efektivitas, penerapan kebijakan tersebut juga dapat di imbangi dengan proses sosialisasi dengan rutin, baik kepada murid maupun orang tua.

Melalui sanksi yang tegas dan sosialisasi yang rutin, anak-anak akan merasakan bila dirinya melakukan pembuliyan maka kerugian yang didapatkan akan sangat besar dibandingkan dengan kepuasan pribadinya.

Sistem keamanan yang kurang memadai.

Perilaku pembullyan tidak semerta merta hanya difaktorkan oleh faktor individu, namun juga oleh faktor lingkungan. Sistem keamanan yang kurang memadai dapat mendorong perilaku pembullyan terjadi dengan intensitas yang tinggi.

Hal ini disebabkan karena pelaku merasa terhindar dari hukuman, karena tidak adanya bukti yang kuat. Oleh karena itu langkah yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan adalah dengan memasang kamera CCTV lebih banyak di seluruh wilayah sekolah termasuk wilayah yang kurang diperhatikan seperti tangga, dan belakang kantin.

Melalui pemasangan kamera CCTV, tidak seorang siswa maupun siswi dapat melakukan pembuliyan dengan merasa aman dari hukuman karena ketiadaan bukti yang kuat.
Kesimpulan

Kasus pembullyan di SMP Kristen Gloria 1 menggarisbawahi pentingnya perhatian serius dari pihak sekolah terhadap perilaku siswa. Tiga faktor utama yang mengakibatkan ketidakmampuan sekolah dalam mengantisipasi kejadian ini adalah kurangnya kepekaan guru terhadap kondisi murid, lemahnya penerapan kebijakan terkait pembullyan, dan sistem keamanan yang tidak memadai.

Kepekaan guru sangat krusial untuk mendeteksi tanda-tanda awal pembuliyan, sedangkan kebijakan yang tegas dan keras dapat mencegah perilaku tersebut berkembang lebih jauh.

Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung, diperlukan langkah-langkah konkret, seperti meningkatkan pelatihan bagi guru dan memperkuat sistem keamanan melalui pemasangan CCTV.

Semua pihak guru, siswa, dan institusi harus berkolaborasi dalam menanggulangi masalah pembuliyan secara proaktif.

Dengan upaya bersama, sekolah dapat meminimalkan risiko pembullyan dan mendukung perkembangan sosial serta emosional siswa, menciptakan budaya sekolah yang lebih positif dan inklusif.

Penulis Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga

banner 1000x130
banner 2500x130 banner 1000x130
banner 1000x130 banner 2500x130