Oleh: Shella Friska Br Sinuhaji
Literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk menguasai dan
memahami bagaimana menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer (Glitser, 1997).
Literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya. Generasi yang tumbuh di era teknologi digital saat ini memiliki pola berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Masyarakat harus dapat bertanggung jawab dan bijaksana dalam menggunakan atau
memberikan teknologi dalam melakukan berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya.
Teknologi digital mampu memberikan setiap orang untuk dapat Mberinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga, teman, rekan kerja serta siapapun
dalam kehidupan sehari-hari.
Di era yang ditandai dengan percepatan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya, literasi digital telah muncul sebagai keterampilan fundamental yang
membentuk lanskap kesuksesan di abad ke-21.
Konsep yang awalnya diperkenalkan oleh Paul Gilster pada tahun 1997 ini telah berkembang jauh melampaui definisi awalnya, mencerminkan kompleksitas dan dinamika dunia
digital yang terus berevolusi.
Hari ini, literasi digital bukan hanya tentang kemampuan mengoperasikan komputer atau perangkat pintar; ini adalah tentang pemahaman mendalam terhadap ekosistem digital yang mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan modern kita.
Dalam konteks globalisasi, di mana batas-batas geografis semakin kabur dan interkonektivitas menjadi norma, literasi digital menjadi bahasa universal yang
memungkinkan partisipasi efektif dalam masyarakat global.
Ini mencakup kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan
informasi menggunakan teknologi digital. Namun, lebih dari itu, literasi digital juga melibatkan pemahaman kritis tentang bagaimana teknologi ini membentuk persepsi kita tentang dunia, mempengaruhi perilaku sosial, dan mengubah dinamika kekuasaan dalam masyarakat.
Kenapa literasi digital kunci sukses di era globalisasi? karena Di tengah arus deras globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, literasi digital telah menjadi kompas yang tak tergantikan dalam menavigasi kompleksitas dunia modern.
Konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Paul Gilster pada tahun 1997 ini telah berevolusi menjadi lebih dari sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat digital literasi digital kini merupakan
keterampilan multifaset yang mencakup aspek kognitif, sosial, dan etika dalam berinteraksi dengan lingkungan digital yang terus berubah.
Dalam lanskap global yang semakin terhubung, di mana batas-batas geografis semakin kabur oleh kehadiran internet, literasi digital menjadi penentu keberhasilan individu,
organisasi, bahkan negara dalam menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang yang muncul.
Urgensi literasi digital semakin terasa ketika kita menyaksikan bagaimana informasi telah menjadi komoditas yang sangat berharga, namun sekaligus berpotensi menjadi senjata yang berbahaya jika disalahgunakan.
Kemampuan untuk mengakses, memahami, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi secara Mefektif melalui berbagai platform digital menjadi keterampilan hidup yang krusial.
Tanpa literasi digital yang memadai, individu berisiko tenggelam dalam lautan informasi, rentan terhadap manipulasi dan penipuan online, serta tertinggal dalam
kompetisi global yang semakin ketat.
Di sisi lain, mereka yang menguasai literasi digital memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan; mereka dapat memanfaatkan kekuatan teknologi untuk berinovasi, membangun jaringan global,
dan menciptakan nilai dalam ekonomi digital yang berkembang pesat.
Namun, penting untuk diingat bahwa literasi digital bukan hanya tentang kecakapan teknis. Ini juga melibatkan pemahaman mendalam tentang implikasi etis dan sosial dari aktivitas digital kita.
Dalam era di mana jejak digital kita dapat bertahan selamanya, kemampuan untuk mengelola identitas online, melindungi
privasi, dan berinteraksi secara etis di ruang digital menjadi sama pentingnya dengan kemampuan untuk menggunakan perangkat dan aplikasi terkini.
Lebih jauh lagi, literasi digital juga mencakup kesadaran kritis terhadap bagaimana teknologi
membentuk persepsi, opini, dan perilaku kita. Ini memungkinkan kita untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas, mampu membedakan antara fakta dan fiksi, dan resisten terhadap echo chamber dan filter bubble yang dapat mempersempit.
Dalam dunia kerja, dampak literasi digital bahkan lebih terasa. Revolusi Industri 4.0 telah mengubah lanskap pekerjaan secara dramatis, menciptakan permintaan akan keterampilan baru dan mengubah cara kita bekerja.
Automasi dan kecerdasan buatan mungkin mengancam beberapa pekerjaan tradisional, tetapi pada
saat yang sama, mereka menciptakan peluang baru bagi mereka yang dapat beradaptasi dengan cepat.
Literasi digital menjadi jembatan yang memungkinkan pekerja untuk beralih dari pekerjaan yang rentan terhadap automasi ke peran-peran
baru yang membutuhkan kreativitas, pemecahan masalah kompleks, dan kecerdasan emosional – keterampilan yang sulit direplikasi oleh mesin.
Lebih jauh lagi, literasi digital membuka pintu untuk bentuk-bentuk baru
kewirausahaan dan inovasi.
Platform ekonomi digital telah memungkinkan individu dan usaha kecil untuk mencapai pasar global dengan investasi minimal. Namun, untuk memanfaatkan peluang ini secara efektif, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana teknologi digital dapat digunakan untuk
menciptakan nilai, membangun hubungan dengan pelanggan, dan mengoptimalkan operasi bisnis.
Dari influencer media sosial hingga pengembang aplikasi independen, kita menyaksikan munculnya generasi baru wirausahawan digital yang mengkapitalisasi keterampilan literasi digital mereka untuk menciptakan peluang ekonomi yang inovatif.
Dalam bidang pendidikan, literasi digital telah mengubah paradigma
pembelajaran. Model pendidikan tradisional yang berfokus pada penyampaian informasi searah kini digantikan oleh pendekatan yang lebih dinamis dan interaktif.
Pembelajaran berbasis proyek, kolaborasi virtual, dan akses ke sumber daya pendidikan terbuka telah memperluas cakrawala pembelajaran jauh melampaui
dinding kelas fisik. Siswa dengan literasi digital yang kuat tidak hanya menjadi konsumen pasif pengetahuan, tetapi juga menjadi kreator aktif yang dapat
berkontribusi pada komunitas pembelajaran global.
Namun, seiring kita merayakan potensi transformatif dari literasi digital, kita juga harus waspada terhadap tantangan yang muncul.
Kesenjangan digital – baik dalam hal akses ke teknologi maupun keterampilan untuk menggunakannya secara efektif – berisiko menciptakan kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat digital.
Ini bukan hanya masalah infrastruktur, tetapi juga tentang
menciptakan lingkungan yang mendukung dan memotivasi orang untuk mengembangkan keterampilan digital mereka.
Selain itu, dengan semakin
banyaknya aspek kehidupan kita yang bergeser ke ranah digital, muncul kekhawatiran baru tentang privasi, keamanan data, dan dampak psikologis dari
ketergantungan teknologi.
Tantangan terbesar dalam mewujudkan literasi digital yang merata adalah kesenjangan digital yang masih lebar, baik antar negara maupun dalam negara itu sendiri.
Akses terhadap teknologi dan pendidikan digital yang tidak merata berpotensi memperlebar jurang ketimpangan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan literasi digital harus berjalan beriringan dengan inisiatif untuk memperluas akses terhadap infrastruktur digital dan perangkat teknologi.
Ini membutuhkan kolaborasi yang erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem yang mendukung perkembangan
literasi digital secara inklusif.
Menghadapi tantangan-tantangan ini membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang mendukung pengembangan infrastruktur digital, dan mempromosikan inklusi digital.
Institusi pendidikan harus terus memperbarui kurikulum mereka untuk mencerminkan kebutuhan keterampilan yang berkembang.
Sektor swasta dapat berkontribusi melalui investasi dalam pelatihan
karyawan dan pengembangan teknologi yang lebih inklusif. Dan yang tidak kalah Mpentingnya, individu perlu mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran seumur
hidup, terus memperbarui keterampilan mereka untuk tetap relevan dalam lanskap digital yang terus berubah.
Literasi digital, pada akhirnya, adalah tentang pemberdayaan. Ini memberi kita alat untuk memahami, berpartisipasi, dan membentuk dunia digital di sekitar
kita. Di era globalisasi, di mana batas antara dunia fisik dan digital semakin kabur, literasi digital menjadi kunci tidak hanya untuk kesuksesan pribadi dan profesional,
tetapi juga untuk partisipasi yang bermakna dalam masyarakat.
Ini memungkinkan kita untuk menjadi warga global yang kritis, kreatif, dan bertanggung jawab,
mampu menavigasi kompleksitas dunia modern dan berkontribusi pada solusi untuk tantangan global.
Ketika kita melangkah maju ke masa depan yang semakin digital,
pengembangan literasi digital harus menjadi prioritas bagi setiap individu, organisasi, dan negara yang beraspirasi untuk sukses dalam ekonomi global.
Ini bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, tetapi merupakan kompetensi inti yang akan menentukan kemampuan kita untuk beradaptasi, berinovasi, dan berkembang di era globalisasi.
Dengan memahami dan menguasai nuansa literasi digital, kita
tidak hanya mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan masa depan, tetapi juga membuka pintu menuju peluang tak terbatas yang ditawarkan oleh revolusi
digital. Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks ini, literasi digital menjadi kompas yang memandu kita menuju kesuksesan, kebijaksanaan, dan partisipasi yang bermakna dalam masyarakat global abad ke-21.
Penulis adalah mahasiswi jurusan Pendidikan Masyarakat UNIMED