JAKARTA |Nusantara Jaya News — Komitmen perlindungan terhadap jurnalis kembali diperkuat melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Senin (5/5/2025), bertempat di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat. Kerja sama ini berfokus pada perlindungan jurnalis yang menjadi saksi atau korban dalam tindak pidana saat menjalankan profesinya.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyambut baik terjalinnya kembali kerja sama tersebut setelah perjanjian sebelumnya berakhir pada September 2024. “Memang sempat ada keterlambatan, tetapi kami bersyukur di akhir masa jabatan periode 2022—2025 ini, kerja sama ini bisa disegerakan,” ujarnya.
MoU ini dipandang sebagai langkah maju yang tidak hanya melanjutkan kolaborasi sebelumnya, tetapi juga membuka peluang finalisasi perjanjian kerja sama lanjutan (PKS) dengan penambahan mitra dari lembaga-lembaga lain yang selama ini telah menjalin hubungan baik dengan Dewan Pers.
Ninik menegaskan bahwa insan pers terdiri dari media dan jurnalis yang sama-sama rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Ia menyoroti pentingnya perlindungan terhadap jurnalis yang merupakan pembela hak konstitusional warga atas informasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E UUD NRI Tahun 1945.
“Terlebih saat ini bentuk kekerasan yang mereka hadapi makin beragam, seiring kemunculan media digital, media sosial, hingga teknologi baru seperti AI,” jelas Ninik.
Ia juga mengungkapkan keprihatinannya atas masih banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tidak ditangani secara tuntas. Beberapa kasus terhenti di tahap penyelidikan, dan tak sedikit pula yang tidak diproses karena korban tidak berani melapor.
Ninik mencatat peningkatan kekerasan terhadap jurnalis, termasuk tindakan doxing dan perusakan alat kerja, seperti yang dialami oleh jurnalis Tempo beberapa waktu lalu. Ia berharap LPSK juga dapat memperluas cakupan perlindungan hingga mencakup alat kerja, situs web, dan percakapan digital seperti WhatsApp yang sering menjadi sasaran serangan.
Tak hanya itu, Ninik mendorong pembentukan Satuan Tugas Nasional Perlindungan Jurnalis yang melibatkan LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta lembaga independen lainnya. Menurutnya, perlindungan harus dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, mencakup langkah-langkah pencegahan dan percepatan penanganan.
“Kami berharap kerja sama ini tidak berhenti di penandatanganan saja, tetapi ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja sama yang lebih perinci: siapa melakukan apa, dengan cara apa, kapan, dan bagaimana evaluasinya,” tegas Ninik.
Ia juga menyoroti perlunya perhatian khusus terhadap jurnalis kampus yang sering kali menghadapi tekanan saat menyampaikan kebenaran. “Upaya pemulihan terhadap mereka sering kali belum maksimal. Mereka membutuhkan dukungan agar hak untuk mendapatkan keadilan, pengungkapan kebenaran, dan pemulihan benar-benar terpenuhi,” tambahnya.
Ketua LPSK, Brigjen Pol. (Purn) Achmadi, menyambut baik kerja sama ini dan menyatakan bahwa MoU tersebut penting dalam memperkuat perlindungan terhadap jurnalis demi menjamin pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia.
“Kami juga menyambut baik upaya-upaya perlindungan terhadap pers dalam rangka jaminan pelaksanaan kemerdekaan pers itu sendiri,” ujarnya. Achmadi berharap pembahasan lanjutan terkait poin-poin teknis kerja sama dapat segera dilakukan.
Penandatanganan MoU ini menjadi sinyal positif bagi dunia pers Indonesia bahwa upaya untuk melindungi jurnalis dari ancaman, tekanan, dan kekerasan semakin mendapat dukungan dari lembaga-lembaga negara. (Red)